MAKKIYAH DAN MADANIYYAH
1. Pengertian
Makkiyah dan Madaniyah
Para ulama berbeda pendapat tentang
makkiyah dan madaniyyah, dan dalam hal ini terbagi atas tiga pendapat, sebagai
berikut :
Pertama,
pendapat paling mashur, surah makkiyah
yaitu wahyu yang turun sebelum nabi Muhammad saw hijrah, sedangkan surah madaniyah
yaitu wahyu yang turun setelah hijrah nabi Muhammad saw. Pada tahun fathul makkah atau tahun “haji wada”, ketika Nabi sedang berada
dikediaman atau sedang bepergian. Ini adalah pendapat paling shahih dalam
pengertian keduanya.
Kedua,
Makkiyah yaitu wahyu yang turun di makkah al mukarromah walaupun setelah
hijrah, sedangkan madaniyyah yaitu wahyu
yang turun di madinah al-munawaroh, maka ayat yang turun dalam perjalanan Nabi
tidak dinamakan makiyyah atau madaniyyah, tetapi dikatakan sebagai ayat
safariyyah.
Ketiga,
Makkiyah yaitu wahyu yang turun karena obyek pembicaraan yang dituju untuk
penduduk makkah al mukaromah, sedangkan madaniyyah yaitu wahyu yang turun
karena obyek pembicaraan yang dituju untuk penduduk madinah al munawwaroh.[1]
Sedangkan dalam buku Tafkirah
ulumul-Qur’an, sedikitnya ada empat teori dalam menentukan kriteria atau
memberikan definisi surah/ayat makkiyah dan madaniyyah. Teori itu adalah
sebagai berikut:
1.
Teori
mulaahazathu makani al Nuzuli (teori geografis), yaitu teori
yang berorientasi pada tempat turunnya ayat. Teori ini mendefinisikan bahwa
makkiyah adalah ayat atau surat yang turun di makkah dan sekitarnya, baik waktu
turunnya itu Nabi Muhammad SAW belum hijrah ke madinah ataupun sesudah hijrah.
Termasuk kategori makkiyah menurut teori ini ialah ayat-ayat yang turun kepada
Nabi Muhammad saw ketika beliau berada di Mina, Arafah, Hudaibiyah, dan
sebagainya.
Kelebihan
dari teori grafis ini adalah hasil rumusan pengertian makki dan madani ini
jelas dan tegas. Kelemahannya dari teori geografis ini ialah rumusannya tidak
bisa dijadikan patokan, batasan atau definisi, sebab rumusannya itu belum bisa
mencakup seluruh ayat al-qur’an, karena tidak seluruh ayat al-Qur’an itu turun
di makkah maupun madinah.
2.
Teori
Mulaahazhah al-Mukhaathabiina Fi
al-Nuzuli (Teori subjektif), yaitu teori yang berorientasi pada subjek
siapa yang dikhitab/dipanggil dalam ayat. Jika subjeknya orang orang mekkah
maka ayatnya dinamakan makkiyah. Dan jika subjeknya orang-orang Madinah maka
ayatnya disebut Madaniyah.
Kelebihan
dari teori subjektif ini ialah rumusannya lebih mudah dimengerti. Sebab dengan
memakai kriteria khithab atau nida’ lebih tampak dan lebih cepat dikenal. Tetapi kelemahan
dari teori subjektif ini lebih banyak dari pada teori-teori yang lain.
Sedikitnya teori ini mempunyai dua kelemahan yaitu sebagai berikut:
a)
Rumusan
pengertiannya tidak dapat dijadikan batasan definisi, karena tidak bisa
mencakup seluruh ayat al-Qur’an. Sebab dari seluruh ayat 6236 ayat itu, yang
dimulai dengan nida’ (panggilan), hanya sekitar 511 ayat saja.
b)
Rumusan
kriterianya juga tidak dapat berlaku secara menyeluruh, bahwa semua ayat yang
dimulai dengan “yaa ayyuha al-Naasu” itu pasti Makkiyah, dan seluruh ayat yang
dimulai : “yaa ayyuha al-ladzina Amanu” itu tentu Madaniyah.
3.
Teori
Mulahazhatu zamaani al-Nuzuuli (teori
historis), yaitu teori yang berorientasi pada sejarah waktu turunnya al-Qur’an.
Yang dijadikan tonggak sejarah oleh teori ini ialah hijrah Nabi Muhammad saw
dari Mekkah dan Madinah.
Kelebihan
dari teori historis ini, dinilai para ulama sebagai teori yang benar, baik dan
selamat. Sebab, rumusan teori ini mencakup keseluruhan ayat al-Qur’an, sehingga
dapat dijadikan batasan/definisi. Hamper tidak ada seorang pun yang menilai
teori historis ini jelek atau lemah, semua memuji dan hanya menyebutkan
kelebihan-kelebihannya. Meskipun kadang teori ini mengakibatkan
kejanggalan-kejanggalan. Sebab, beberapa ayat al-Qur’an yang nyata-nyata turun
di Mekkah, tetapi hanya karena turunnya itu setelah hijrah, lalu tetap dianggap
Madaniyah.
4.
Teori
Mulahazhatu Ma Tadhammanat As-Suuratu
(teori content analysis), yaitu suatu
teori yang mendasarkan kriteria dalam membedakan Makkiyah dan Madaniyah kepada
isi dari ayat/surah yang bersangkutan.
Kelebihan
dari teori content analysis ini
adalah bahwa kriterianya jelas, sehingga mudah difahami, sebab gampang dilihat
orang. Orang tinggal melihat saja tanda-tanda tertentu itu, Nampak atau tidak dalam sesuatu surah/ayat, sehingga dengan
demikian dia mudah menentukannya.
Kelemahannya,
pelaksanaan pembedaan Makkiyah dan Madaniyah menurut teori ini tidak praktis.
Sebab, orang harus mempelajari isi kandungan masing-masing ayat dahulu, baru
bisa mengetahui kriterianya/kategorinya.[2]
2. Ciri-ciri
surat makkiyah:
Surah
makkiyah mempunyai beberapa ciri – cirri, diantaranya yaitu :
a.
Setiap
surat yang didalamnya terdapat kalimat “kalla”
adalah makkiyah. Kalimat “kalla”
disebut 33 kali dalam 15 surat, semuanya dalam separuh terakhir al-Qur’an.
b.
Setiap
surat yang didalamnya terdapat ayat-ayat sajadah, adalah makkiyah, ada 14
surat, yakni al-a’raf, ar-ra’d, an-nahl, al-isro, maryam,al-hajj (dua sajadah),
al-Furqon, an-Naml, as-sajdah, al-fushilat, an-Najm, al-insyiqoq,al-‘alaq.
Sedangkan mengenai surat shad, disunatkan sujud, namun tidak menjadi keharusan.
Sebagian mereka menambahkan akhir surat al-hijr, sedang dalam ar-ra’d terdapat
pendapat.
c.
Setiap
surat yang dimulai dengan qasam (sumpah) ada 15 surat, yaitu : as-shaffat,
az-zariat, at-thur, an-najm,al-mursalat, an-naziat, at-buruj, at-thoriq,
al-fajr, as-syams, al-lail, adh-dhuha, at-tin, al-adiyat, al-ashr.
d.
Setiap
surat yang dibuka dengan huruf-huruf hijaiyah atau tahaji,seperti “alif lam mim dan “ha-mim” dalam hal ini terdapat dalam 29 surah yang 2 diantaranya
adalah Madaniyah, yaitu surat al-baqarah dan ali imran, karena
keduanya adalah madaniyah versi ijma, sedang pada surat ar-ra’d terdapat
perbedaan pendapat.
e.
Setiap
surat yang memuat “ yaa ayyuha-nnas atau
yaa ayyuha al-kaafiruuna/yaa bani aadama” serta tidak memuat ‘ya ayyuha-lladzina amanu ” dalam hal ini
terdapat 292 ayat. kecuali pada surat al-hajj yang diakhir surat memuatnya,
namun ia tetap makkiyah.
f.
Semua
surat yang menyebut cerita adam a.s dan
iblis maka ia adalah makkiyah, selain surat al-baqarah dan al-madaniyah.
Contoh: yunus, hud, Ibrahim.
g.
Semua
yang menyebut jaman lampau adalah makkiyah.[3]
h.
Terdapat
cerita-cerita kemusyrikan dan penyembahan-penyembahan terhadap selain Allah
SWT.
i.
Terdapat
keterangan adat kebiasaan orang-orang kafir dan orang musyrik yang suka
mencuri, merampok, membunuh, mengubur anak hidup-hidup dan sebagainya.
j.
Berisi
penjelasan dengan bukti-bukti dan argumentasi dari alam ciptaan Allah SWT yang
dapat menyadarkan orang-orang kafir untuk beriman kepada Allah SWT dan percaya
kepada rasul, kitab-kitab, hari kiamat dan lain sebagainya.
k.
Berisi
ajaran prinsip-prinsip akhlak yang mulia dan pranata social yang tinggi dengaln
sangat mengagumkan sehingga menyebabkan orang benci kekafiran, kemusyrikan,
kefasikan, kekasaran dan sebagainya,segingga menarik orang tersebut untuk dapat
berakhlak mulia.
l.
Berisi
nasihat - nasihat petunjuk dan ibarat - ibarat dari balik cerita, sehingga
dapat mengajak orang untuk tidak
melakukan pembangkangan, kekafiran dan sebagainya.
m.
Surah
atau ayat-ayatnya pendek karena menggunakan ijaaz (singkat-padat).[4]
3. Ciri-ciri
Madaniyah:
Surah
madaniyah mempunyai ciri – ciri, diantaranya yaitu :
a)
Setiap
surat yang di dalamnya terdapat kalimat-kalimat “ya ayyuhalladzina amanu” dan tidak terdapat kalimat “ya ayyuha-nnas”.
b)
Setiap
surat yang didalamnya menyinggung (mengenai) orang-orang munafik.
c)
Setiap
surat memuat batasan hukuman/penjelasan mengenai kewajiban/ibadah : shalat,
puasa dan sebagainya.
d)
Semua
surat yang menyebut “al-munafiqqin,
maka ia adalah madaniyah selain surat al-ankabut”.
e)
Semua
surat yang menyebut hukuman dan warisan adalah madaniyah.
f)
Berisi
hukum-hukum pidana, hukum pencurian, perampokan, perzinaan dan sebagainya.
Contoh: al-baqarah, an-nisa, al-maidah, asy-syura dan sebagainya.
g)
Berisi
izin jihad fi sabilillah dan hukum-hukumnya
. contoh: al-baqarah, al-anfal, at-taubah, dan al-hajj.
h)
Berisi
hukum muamalah, munakahat, seperti : jual beli, talak dan nikah.
i)
Berisi
hukum-hukum kemasyarakatan, kenegaraan, seperti: permusyawaratan, kepemimpinan,
pergaulan dan sebagainya. Contoh: al-baqarah, ali imran, al-maidah dan
sebagainya.
j)
Berisi
dakwah atau seruan kepada orang-orang yahudi dan nasrani serta penjelasan
penyimpangan yang dilakukan mereka. Seperti: al-baqarah, ali-imran, al-maidah
dan sebagainya.
k)
Surah
atau ayat-ayatnya panjang-panjang.[5]
4. Macam-Macam
Surat Makkiyah dan Madaniyah
Dalam penetapan macam-macam surat
Makkiyah dan Madaniyah para ulama berbeda pendapat, hal ini dikarenakan adanya
sebagian surat yang seluruh ayat-ayatnya Makkiyah atau Madaniyah dan ada
sebagian surah lainnya yang tergolong Makkiyah atau Madaniyah yang tetapi
didalamnya berisi sedikit ayat yang lain statusnya. Sehingga dari segi Makkiyah
dan Madaniyah maka surat-surat Al-Qur’an itu dibagi menjadi empat macam :
a.
Surah-surah
Makkiyah Murni
Yaitu
surah-surah Makkiyah yang seluruh ayat-ayatnya juga berstatus makkiyah semua,
dan tidak ada satu pun yang madaniyah, surah-surah yang berstatus makkiyah murni ini seluruhnya
berjumlah 58 surah yang berisi 2074 ayat. Contohnya : surah alfatihah, yunus,
ar-ra’du dan surah-surah lainnya yang pendek-pendek pada juz 30 kecuali surah
an-nasr.
b.
Surah-surah
Madaniyah murni
Yaitu
surah-surah yang seluruh ayatnya berupa madaniyah semua dan tidak ada satupun
surah makkiyah. Dalam hal ini terdapat 18 surah yang terdiri dari 737 ayat.
Contohnya seperti: surah al-imron, an-nisa, an-nur, al-ahzab dan sebagainya.
c.
Surah-surah
makkiyah yang berisi ayat madaniyah
Yaitu
surah-surah yang sebagian besar didalamnya adalah ayat-ayat makkiyah dan selain
itu terdapat sedikit ayat-ayat yang berstatus madaniyah.
Surah-surah
tersebut terdapat 32 surah yang terdiri dari 2699 ayat. Contohnya: surah
al-an’am, al-a’rof, hud, yusuf, Ibrahim, alwaqi’ah dan sebagainya.
d.
Surah-surah
Madaniyah yang berisi ayat makkiyah
Yaitu
surah-surah yang sebagian besar ayat-ayatnya berstatus madaniyah, surah-surah
yang demikian berjumlah 6 surah yang terdiri dari 726 ayat yaitu pada
surah-surah al-baqarah, al-maidah, al-anfal, at-taubah, al-hajj dan surah Muhammad
atau surah al-qital.[6]
5. Perbedaan
antara ayat makkiyah dan madaniyah:
1.
Memperhatikan
mukhaathab (lawan bicara yaitu lawan bicara rasul ialah mekkah memuat ya
ayyuhan naas.
Bila
orang madinah yaa ayyunal ladzina aamanuu, tapi ketentuan ini tidak berlaku
selamanya karena pada surah , al-baqarah dan an-nisa keduanya terhadap ya
ayyuha naas.
2.
Memperhatikan
tempat turunnya
3.
Memperhatikan
tempat turunnya.
Makki turun sebelum
hijrah, walaupun tidak di mekah, madani setelah hijrah.[7]
6. Metode
Penetapan Makki dan Madani
Untuk
menetapkan surah makki dan madani dapat dilakukan dengan 2 jalur yaitu:
1.
Jalur
Sam’i
Yaitu
dengan menyandarkan pada perkataan dari sahabat rasul saw yang shohih. Selain
itu juga disandarkan pada perkataan tabi’in yang hidup pada waktu ayat tersebut
turun dan menerimanya dari sahabat yang mereka mendengarkan cara turunnya,
pendirian dan peristiwanya.
2.
Jalur
Qiyas yang berbentuk ijtihad
Yaitu
dengan mendasarkan pada kekhususan surah makkiyah dan kekhususan surah
madaniyah. Contohnya: apabila ayat itu dimulai dengan yaa ayyuhannaas, maka ini diqiyas ijtihad yang sehingga dapat dikatakan
semua surah yang memuat kalimat tersebut dan yang memuat kisah para nabi dan
umat-umat dahulu adalah makkiyah.[8]
Selain
itu Sam’ani sya’roni dalam bukunya menerangkan bahwa dasar-dasar penetapan
Makkiyah dan Madaniyah adalah sebagai berikut :
1.
Dasar
aghlabiyah (mayoritas), yakni kalau sesuatu surah itu mayoritas atau kebanyakan
ayat-ayatnya adalah makkiyah, maka disebut sebagai surah makkiyah. Sebaliknya,
jika surah itu adalah surah madaniyah, atau diturunkan sesudah Nabi hijrah ke
Madinah, maka surah tersebut disebut surah Madaniyah.
2.
Dasar
taba’iyah (kontinuitas), yakni kalau permulaan sesuatu surah itu didahului
dengan ayat-ayat yang turun di Mekah mka disebut surah Makkiyah atau berstatus
sebagai surah-surah Makkiyah. Begitu pula sebaliknya jika ayat-ayat pertama
dari suatu surah itu diturunkan di Madinah atau yang berisi hukum-hukum
syariat, maka surah tersebut dinamakan sebagai surah Madaniyah.[9]
7. Manfaat
mengetahui makkiyah dan madaniyah:
a)
Untuk
mengetahui pembedaan nasikh dan mansukh, karena yang terakhir adalah nasikh
bagi yang terdahulu.
b)
Merupakan
bantuan dalam menafsirkan al-qur’an pengetahuan terhadap tempat turunnya ayat
dapat membantu memahami maksud ayat, dan mengetahui ayat yang ditunjuk (madlul)
serta isyarat-isyarat yang dikemukakan.
c)
Pengetahuan
terhadap sejarah pembentukan hukum (Tarikh at-Tasyri’) dan fase-fase pembebanan
(Tajridah) yang di iringi oleh keyakinan terhadap kenyataan bahwa fase-fase
tersebut pasti berasal dari Tuhan yang maha tau, maha mengerti, maha gagah,
maha bijak, maha pengasih lagi maha penyayang.
d)
Pemanfaatan
terhadap gaya bahasa al-qur’an dalam mengajak kepada jalan Allah swt. Sebab
(gaya bahasa al-qur’an) merupakan suatu gaya bahasa yang keras (sekaligus
juga), lembut, rinci (maupun) global, memberikan optimisme kepada
kebahagiaan/kebaikan, mengancam, menganjurkan, memberi peringatan, ringkas,
penuh kekayaan bahasa, sesuai dengan kondisi lawan bicara.
e)
Mengetahkan
sejarah Nabi dengan cara mengikuti jejak beliau di Mekah, serta sikap dalam
berdakwah kondisi beliau di madinah dan sejarah dakwah beliau merupakan acuan
para da’I dengan metode Nabi yang sangat
bijak dalam berdakwah.
f)
Menjelaskan
tugas dan perhatian kaum muslimin terhadap Al-Qur’an, sehingga mereka merasa
belum cukup jika hanya pada dataran menghafal teks Al-Qur’an. Bahkan mereka
mengikuti tuntutan tempat turunnya ayat, mencari pengetahuan tentang yang turun
sebelum dan sesudah hijrah, yang turun pada malam dan siang hari, pada musim
dingin dan musim panas, dan mereka diikuti oleh orang yang mempelajari dan
ilmu-ilmunya.[10]
g)
Mudah
untuk mengetahui ayat-ayat yang hukum bacaannya telah di nasakh dan mana
ayat-ayat yang menasakhkannya.[11]
h)
Ayat yang pertama turun
Ayat yang pertama turun ialah beberapa
ayat pada permulaan surat al’alaq seperti yang diterangkan dalamv hadists
Bukhori dan yang terakhir diturunkan adalah al-baqarah : 281
Ini adalah pendapat yang benar dan kuat
menurut kesepakatan pra ulama yang tokohnya as-suyuti. Pendapat ini dikutip
dari Abdullah bin Abbas yang diriwayatkan oleh Nasa’i dari ikrimah dari Ibnu Abbas 9 hari setelah ayat
ini turun Nabi Muhammad wafat tepat malam senin, 3 Rabi’ul awal.[12]
Sebagian ulama lain mengatakan bahwa
ayat yang terakhir turun adalah al-ma’idah: 3. Yang berbunyi :
Artinya :
“Pada hari Ini Telah Kusempurnakan untuk kamu
agamamu, dan Telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan Telah Ku-ridhai Islam
itu jadi agama bagimu”.
Akan tetapi ada yang mengatakan pendapat
ini tak benar karena ayat tersebut diturunkan pada waktu Rasul SAW melaksanakan
haji wada’, tepat ketika wukuf di arafah, setelah 81 hari turun surah
al-baqarah 281 sebelum rasul wafat.
Dalil yang meneguhkan bahwa al-maidah
adalah surat yagn terakhir turun adalah hadits yang diriwayatkan dalam shahih
Bukhari, yaitu bahwa salah seorang yahudi pernah menghadap Umar Ibnu Khattab dan berkata: Hai Amirul
Mukmin, ada sebuah ayat dalam kitabmu yang kalau diturunkan kepada kami
golongan yahudi, niscaya hari turunnya dan umar bertanya: ayat manakah yang
anda maksudkan? Lalu ia menjawab: al-ma’idah ayat 3.
Surat
al-maidah diteguhkan sebagai surat yang terakhir diturunkan karena menunjukkan
bahwa agama islam telah lengkap dan sempurna.[13]
DAFTAR
PUSTAKA
Ar-Rumi, Fahd bin Abdurrahman. 1996. Ulumul Qur’an. Yogyakarta : Titian ilahi.
Ash-Shaabuuniy,
Muhammad Ali. 1991. Ulumul Qur’an. Bandung : Pustaka Setia.
Masyhur, Kahar.
1992. Pokok-pokok Ulumul Qur’an. Jakarta:
Rieneka Cipta.
Sya’roni, Sam’ani.
2010. Tafkirah Ulumul Al-Qur’an. Tanpa
Kota : Alghotasi Putra.
Anas, Idhoh.
2008. Kaidah-Kaidah Ulumul Qur’an.
Pekalongan : Al-asri.
[1]
Idhoh Anas, Kaidah-Kaidah Ulumul Qur’an
( Pekalongan : Al-asri, 2008), Hal.
[2]
Sam’ani Sya’roni, Tafkirah Ulumul
Al-Qur’an ( Tanpa Kota : Alghotasi Putra, 2010), Hal. 55-62
[3]
Idhoh Anas, kaidah-kaidah Ulumul Qur’an…
[4] Sam’ani
Sya’roni, Op.Cit hal. 66
[5]
Ibid. hal. 67
[6]
Ibid. hal. 68-69
[7]
Kahar Masyhur, pokok-pokok Ulumul Qur’an (
Jakarta: Rieneka Cipta, 1992), Hal.75
[8]
Ibid. hal.72
[9]
Opcit. Sam’ani Sya’roni. Hal. 70
[10]
Fahd bin Abdurrahman Ar-Rumi, Ulumul
Qur’an ( Yogyakarta : Titian ilahi, 1996 ), hal
[11]
Sam’ani Sya’roni,.Op.cit.hal 70
[12]
Muhammad Ali Ash-Shaabuuniy, Ulumul Qur’an ( Bandung : Pustaka Setia, 1991),
hal 29 - 30
[13]
Ibid, hal 31 - 32