I. PENDAHULUAN
Nurcholis Madjid adalah
tokoh pembaharu yang tidak asing lagi untuk banyak orang.
Pemikiran-pemikirannya tak luput dari sorotan banyak ahli baik dari dalam
negeri maupun luar negeri. Tidak jarang banyak pemikirannya yang dijadikan
sebagai rujukan dalam pembahasan terkait keIslaman, keIndonesiaan, Politik
bahkan Pendidikan.
Pemikirannya yang paling menggegerkan
khalayak, terutama para aktivis gerakan Islam, adalah saat pemimpin umum
majalah Mimbar Jakarta ini melontarkan pernyataan “Islam yes, partai Islam no”.
Ia ketika itu menganggap partai-partai Islam sudah menjadi “Tuhan” baru bagi
orang-orang Islam.
Bagaimana halnya dengan pemikiran
Nurcholis Madjid tentang pendidikan? Dalam makalah ini akan dibahasan gagasan-gagasan
beliau mengenai pendidikan yang meliputi: riwayat hidup Nurcholis Madjid,
siklus sosial Nurcholis Madjid, pendekat teori, isi teori, ide pokok pemikiran
serta analisis relevansi teori Nurcholis Madjid dengan pendidikan saat ini.
II. PEMBAHASAN
A. Riwayat Hidup
Nurcholis Madjid
Nurcholis Madjid
lahir di Jombang Jawa Timur, 17 maret 1939 (26 muharram 1358), dari keluarga
kalangan pesantren. Cak Nur, bagitu panggilan angkrabnya ketika kecil
bercita-cita menjadi masinis kereta api. Pendidikan yang ditempuh : Sekolah
Rakyat di Mojoanyar dan bareng (pagi) dan Madrasah Ibtidaiyah di Mojoanyar
(sore) ; Pesantren Darul Ulum di Rejoso, Jombang ; KMI ( Kuliyatul Mutaalimin al-Islamiyah) Pondok Pesantren Modern
Darussalam Gontor, Ponorogo ; IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (Sarjana Sastra
Arab 1968), dan Universitas Chicago, Illinois, AS (Ph.D., Islamic Thought,
1984).[1]
Beliau aktif dalam gerakan kemahasiswaan, antara lain: Ketua
Umum Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Ciputat; Ketua Umum PB HMI (1966-1969 dan
1969-1971); Presiden pertama PEMIAT (Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara),
1967-1976; Wakil sekjen IIFSO (International
Islamic Federation of Studens Organizations), 1969-1971 dan sejak tahun
1991 Nurcholis Madjid menjabat sebagai Wakil Ketua Dewan pakar Ikatan
Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI).
Kegiatan dalam bidang pendidikan,
antara lain: mengajar di IAIN Syarif Hidayatullah, 1985-2005; peneliti pada
LIPI, 1978-2005; guru besar tamu di Universitas McGill, Montreal, Canada,
1991-1992. Fellow dalam Eisenhower Fellowship, bersama isteri 1990. Beliau
banyak menulis makalah-makalah yang diterbitkan di berbagai majalah, surat
kabar dan buku sutingan. Sejak tahun 1986, bersama kawan-kawan di ibukota
mendirikan dan memimpin Yayasan Wakaf Paramadina, dengan kegiatan-kegiatan yang
mengarah kepada gerakan intelektual Islam di Indonesia.[2]
Cak Nur
meninggal dunia pada 29 Agustus 2005 akibat penyakit sirosis hati yang
dideritanya. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata meskipun merupakan
warga sipil karena dianggap telah banyak berjasa kepada negara.[3]
B. Siklus Sosial
Nurcholis Madjid
Nurcholis
Madjid yang biasa dipanggil Cak Nur, hidup ditengah keluarga NU yang kental.
Ayahnya adalah tokoh terkemuka (kiyai) sekaligus seorang pemimpin partai Islam (Masyumi) kala itu.
Riwayat pendidikannya yang beraruskan paham keagamaan yang kental menjadikannya
seorang yang kritis dan mapan dalam pemikiran ke-Islaman.
Berdasarkan
hasil lacakan atas genealogi keluarga dan komunitas sosialnya, Cak Nur berasal
dari lingkaran Islam borjuis. Tipologi Islam borjuis digunakan untuk
mengidentifikasi kelas menengah atas muslim perkotaan yang secara ekonomi
mapan, ideologinya cenderung mengusung simbol-simbol Masyumi-HMI, dan cenderung
mengurung simbol-simbol Islam formal.
Cak
Nur adalah seorang yang sering dijuluki “Guru Bangsa” karena banyak memikirkan
bagaimana Indonesia menjadi sebuah bangsa yang berperadaban tinggi.
Pemikiran-pemikirannya tidak hanya terbatas mengenai Islam, tetapi juga
meliputi pemikiran keindonesiaan modern. Iapun menjadi pelopor banyak isu
pembaharuan politik, seperti ide pentingnya osisi loyal, civil society, demokrasi, pancasila sebagai common platform bangsa
ditengah nilai-nilai keagamaan, pluralisme, dan hak asasi manusia. kontribusi pemikiran
Cak Nur bukan hanya berkaitan dengan umat Islam, tetapi juga bangsa Indonesia.
C. Pendekatan Teori
Nurcholis Madjid
Berbicara
mengenai Cak Nur tidak akan terlepas dari anggapan tentang konotasi Islam
liberal ataupun plural. Menurut Khalik[4], pluralisme
Cak Nur bertumpu pada pada gagasan Islam sebagai agama universal dan tetap
berputar di orbit komunal partikular karena masih melihat kebenaran agama lain
dengan perspektif agama sendiri.
Cak
Nur mengusung pemikiran pluralisme positif. Pluralisme positif menupakan
semangat yang menjadi salah satu hakikat islam. Pluralisme oleh islam yang
tidak pernah hilang itu sekarang harus dengan penuh kesadaran diterapkan dalam
pola-pola yang sesuai dengan tuntutan zaman moderen, demi memenuhi tugas
sucinislam sebagai agama tauhid (ketuhanan YME) untuk ikut serta menyelamatkan
umat manusia dan kemanusiaan di zaman mutakhir ini.[5]
Pendekatan
lain yang dibawa Cak Nur adalah pendekatan neomodernis. Dalam bingkai
neomodernis inilah sebenarnya Cak Nur meletakkan pondasi pemikiran Islam.
Gagasannya jauh kedepan karena ia amat
menyadari bahwa untuk mengubah karakter umat Islam, dan bangsa Indonesia secara
lebih umum diperlukan waktu sekitar 25 tahun.
Disini
Cak Nur melihat potensi pesantren di Indonesia. Dilihat dari historisnya,
pesantren sebagai sistem pendidikan tradisional dan tertua telah memainkan
peran cukup penting dalam membentuk kualitas sumber daya manusia Indonesia.
Pada era 70-an Cak Nur telah memprekdidikan pesantren sebagai sesuatu yang
dapat dijadikan alternatif terhadap sistem yang ada.[6]
D. Isi Teori
1.
Kondisi objektif
pesantren
Pesantren
di Indonesia lebih populer dengan sebutan pondok pesantren. Pesantren terdiri
dari 5 pokok elemen, yaitu: kyai, santri, masjid, pondok dan pengajaran
kitab-kitab klasik. Keberadaan kyai dalam pesantren laksana jantung bagi kehidupan manusia.
Intensitas kyai memperlihatkan peran yang otoriter karena kyailah perintis,
pendiri, pengasuh, pemimpin bahkan pemilik tunggal sebuah pesantren[7]. Segala
urusan yang berkaitan langsung dengan pesantren menjadi dan bahkan bisa dicampuri oleh kyai langsung.
Sehingga banyak pesantren yang tutup pasca wafatnya sang kyai.
Dalam
proses pembelajaran para santri mempelajari kitab-kitab klasik dimana kitab-kitab
tersebut dapatmengidentifikasikan kazanah keilmuan yang yang bernuansa
kultural, akhlak, ilmu, karomah, integritas keimanan, kefaqihan, dan
sebagainya. Masjid juga menjadi hal utama dalam sistem pembelajaran pesantren.
Disini, masjid bukan hanya fijadikan sebagai sarana kegiatan saja, namun juga
sebagai pusat belajar mengajar.
Dari
sikap terhadap tradisi pesantren kepada jenis salafi dan khalafi.[8]
Jenis salafi merupakan jenis
pesantren yang tetap mempertahankan pengajaran kitab-kitab Islam klasik sebagai
inti pendidikannya. Berbeda dengan pesantren khalafi yang tampaknya menerima
hal-hal baru yang dinilai baik disamping tetap mempertahankan tradisi lama yang
baik.
Pada
kondisi objektif tersebut, guna menjadikan pesantren lebih ideal, Nurcholis
menawarkan perlu adanya rekonstruksi tujuan pesantren, adanya pembaharuan pesantren serta membaharui
manajemen pesantren.[9]
2.
Tujuan
pendidikan pesantren
Faktor
pertama kurangnya kemampuan pesantren dalam merespon dan mengikuti perkembangan
zaman terletak pada lemahnya visi dan tujuan yang dibawa pendidikan pesantren.
Pada
dasarnya tujuan dari pendidikan pesantren adalah mencipta dan mengembangkan
kepribadian muslim yang bermanfaat bagi agama, masyarakat dan negara,[10]
serta membentuk manusia yang memiliki kesadaran tinggi bahwa ilmu pengetahuan Islam sesungguhnya meliputi lingkup
yang amat luas,yaitu tentang Tuhan, manusia dan alam termasuk matematika, astronomi dan ilmu bumi matematis sebagaimana
terbukti dari banyaknya istilah-istilah moderen (barat) di bidang-bidang itu
berasal dari para ilmuan muslim.[11]Tujuan
akhirnya adalah beriman, berilmu dan beramal[12].
3.
Kurikulum dan
metode pendidikan pesantren
Nurcholis
Madjid menyatakan bahwa dalam aspek kurikulum, pelajaran agama masih dominan
dilingkungan pesantren. Pada umumnya pembagian keahlian
lulusan atau produk pendidikan pesantren berkisar pada bidang-bidang berikut[13] :
Ø Nahwu-sharaf
Ø Fiqh
Ø ‘aqaid
Ø Tasawuf
|
Ø Tafsir
Ø Hadits
Ø Bahasa Arab
|
Nurcholis
Madjid menekankan agar dalam penerapan kurikulum dipesantren adanya check and balance[14].
Perimbangan ini dimaksudkan agar pengetahuan keislaman dan pengetahuan umum
agar dapat berjalan sejalan satu dengan yang lainnya.
4.
Sistem nilai
pesantren
Ada
tiga aspek yang mengakar dalam kultur pesantren yang digunakan sebagai sistem
nilai yang dikenal sebagai Ahl-al-sunnah
wa al-jamaah[15]
, yaitu :
Ø
Teologi
Al-Asy’ari
Ø
Fiqh madzhab
Ø
Tasawuf praktis
E. Ide Pokok
Pemikiran
Pendidikan
Islam menurut Nurcholis Madjid harus dapat memberikan arah pengembangan dua
dimensi bagi peserta didik, yakni dimensi ketuhanan dan dimensi kemanusiaan.
Jika diklasifikasikan, maka konsep pembaharuan pendidikan Islam Nurcholis
Madjid merupakan sebentuk corak pendidikan progresif plus spiritualitas. Hal
ini dibuktikan dengan memperhatikan dua orientasi pendidikan di atas dan
prinsip-prinsip pemikiran Nurcholis Madjid yang kerap menekankan sikap terbuka,
fleksibel, kritis dalam berpikir; gagasan tentang demokrasi; desakralisasi atau
sekularisasi; atau cita-cita masyarakat madani yang toleran dan plural. Kesemua
modalitas ini kemudian diwujudkan sebagai agenda pembaharuan pendidikan Islam
melalui seperangkat metodologi yang beberapa di antaranya telah penulis
identifikasi sebagai metode berpikir rasional, metode pemecahan masalah,
eksperimen, kontemplasi, diskusi, dan penguasaan bahasa asing.[16]
Kegiatan menanamkan
nilai-nilai, sesungguhnya akan membentuk pendidikan keagamaan. Nilai – nilai itu antara lain: Islam, iman, ihsan, taqwa,
ikhlas, tawakal, syukur dan sabar. Kemudian nilai-nilai
akhlak yang akan mendorong kepada kemanusiaan antara lain: silaturrahmi,
persaudaraan, adil, baik sangka, rendah hati, tepat janji, lapang dada, dapat
dipercaya, dan sebagainya.[17]
F. Analisis
Dari
berbagai pemaparan tentang tawaran konsep pendidikan Nurcholis Madjid
yang hampir sebagian besar mengerucut pada pembaharuan pesantren, saya rasa
sangan relevan jika diterapkan pada saat ini. Hal ini karena, masih banyak
pesantren di Indonesia yang masih termajinalkan. Kaum santri yang masih dikonotasikan
udik dan tidak intelek. Dengan pembaharuan pendidikan pesantren yang bisa
mengintegralkan antara pendidikan umu dan agama bisa diharapkan akan
terwujudnya para santri intelek dan atau intelek santri.
III. PENUTUP
Dari
pemaparan diatas, dapat disimpulkan bahwa pemikiran Cak Nur memang tidak akan
pernah bisa terlepas dari ke-Islaman. Begitu pula dengan pemkirannya terkait
dengan pendidikan. Cak Nur lebih banyak menyorot pesantren yang memang masih
dirasa perlu
memberikan perhatian khusus.
Tawaran
yang Cak Nur berikan adalah penertiban manajemen pesantren, merumuskan kembali
tujuan pesantren, kurikulum pesantren, sistem nilai pesantren serta penanaman value (nilai) kepada peserta didik.
Briman, berilmu dan beramal.
DAFTAR PUSTAKA
Sholehudin,
M. Sugeng. Ensiklopedi Tokoh Pendidikan
Islam, 2005. Pekalongan : STAIN Pekalongan press.
Madjid,
Nurcholis. Islam, Doktrin dan Peradaban;
sebuah telaah kritis tentang masalah keimanan, kemanusiaan dan kemoderenan.
1992. Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina.
Yasmadi.
Modernisasi pesantren,Kritik Nurcholis
Madjid terhadap Pendidikan Islam Tradisional. 2002. Jakarta: Ciputat Press.
Madjid,
Nurcholis. Bilik-bilik pesantren. 1997.
Jakarta: Paramadina.
Qomar,
Mujamil. Pesantren: dari Transformasi
Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi. 2005. Jakarta: Erlangga.
Fajar,
A.Malik. Reorientasi Pendidikan Islam. 1999.
Jakarta: Fajar Dunia.
[1] M. Sugeng Sholehudin, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam, (Pekalongan
: STAIN Pekalongan press), 2005, hal. 89
[2] Ibid. Hal.90
[3] http://info-biografi.blogspot.com/2010/02/dr-nurcholis-madjid.html diakses 16 februari 2012 pukul 13.10
[4] Op.cit, hal 98
[5] Nurcholis Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban; sebuah telaah
kritis tentang masalah keimanan, kemanusiaan dan kemoderenan, (Jakarta:
Yayasan Wakaf Paramadina) 1992 hal. ii
[6] Yasmadi, Modernisasi pesantren,Kritik Nurcholis Madjid terhadap Pendidikan Islam
Tradisional (Jakarta: Ciputat Press), 2002, hal.59-60
[7] Ibid, hal.63
[8] Nurchois Madjid, Bilik-bilik pesantren, (Jakarta:
Paramadina), 1997, hal 163
[9] Ibid, hal.18
[10]
Mujamil Qomar, Pesantren: dari
Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi, (Jakarta:
Erlangga), 2005, hal. 4
[11] Nurcholis Madjid, Islam, doktrin dan peradaban ............................hal.
xIi
[12] Ibid hal. v
[13]Nurcholis Madjid, Bilik-bilik pesantren
.............................................hal. 7
[14] Yasmadi, Modernisasi Pesantren ........................... hal. 89
[15] Ibid, hal92-105
[16]
http://muhamadqbl.blogspot.com/2010/04/definisi-pendidikan-perbandingan.html
diakses tanggal 16 Februari 2012 pukul 13.25
[17] A. Malik Fajar, Reorientasi Pendidikan Islam, (Jakarta:
Fajar Dunia), 1999, hal. 10-17