Thursday, September 29, 2011

Batasan-Batasan Kurikulum


BATASAN-BATASAN KURIKULUM
1.         Kurikulum sebagai Suatu Program Kegiatan yang Terencana
Berdasarkan pandangan komprehensif terhadap setiap kegiatan yang direncanakan untuk dialami seluruh siswa, kurikulum berupaya menggabungkan ruang lingkup, rangkaian, interpretasi, keseimbangan subject matter, teknik mengajar, dan hal lain yang dapat direncanakan sebelumnya (Saylor, Alexander, dan Lewis, 1986). Pada hakikatnya, kurikulum sebagai suatu program kegiatan terencana (program of planned activities) memiliki rentang yang cukup luas, hingga membentuk suatu pandangan yang menyeluruh. Di suatu pihak, kurikulum dipandang sebagai suatu dokumen tertulis (Beaucham, 1981) dan di lain pihak, kurikulum dipandang sebagai rencana yang tidak tertulis yang terdapat dalam pikiran pihak pendidik (Taylor, 1970).

2.         Kurikulum sebagai Hasil Belajar yang Diharapkan
Beberapa penulis kurikulum (Johnson, 1977 dan Posner, 1982) menyatakan bahwa kurikulum seharusnya tidak dipandang sebagai aktivitas, tetapi difokuskan secara langsung pada berbagai hasil belajar yang diharapkan (intended learning outcomes). Kajian ini menekankan perubahan cadra pandang kurikulum, dari kurikulum sebagai alat (means) menjadi kurikulum sebagai tujuan atau akhir yang akan dicapai (ends). Ssalah satu alasan utama adalah karena hasil belajar yang diharapkan merupakan dasar bagi perencanaan dan perumusan berbagai tujuan kegiatan pembelajaran.
Dalam konteks ini, tujuan pembelajaran tidak lagi dirumuskan dalam retorika global seperti “Siswa memiliki apresiasi terhadap warisan budaya”, tetapi dirumuskan dalam serangkaian hasil belajar yang terstruktur. Artinya, setiap kegiatan, pengajaran, desain lingkungan, dan sebagainya, difungsikan sedemikian rupa sehingga saling mendukung untuk mencapai tujuan akhir (ends) yang telah ditetapkan sebelumnya. Dalam pandangan ini, hasil belajar yang diharapkan tersebut tidak dapat disamakan dengan kurikulum itu sendiri, tetapi lebih merupakan dunia (realms) kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan akhir (hasil belajar) yang diharapkan.
 3.         Kurikulum sebagai Reproduksi Kultural (Cultural Reproduction)
Sebagian ahli pendidikan berpandangan bahwa kurikulum dalam setiap masyarakat atau budaya seharusnya menjadi refleksi dari budaya masyarakat itu sendiri. Sekolah bertugas memproduksi pengetahuan dan nilai-nilai yang penting bagi generasi penerus. Masyarakat, negara atau bangsa bertanggung jawab mengidentifikasi ketrampilan (skill), pengetahuan (knowledge), dan berbagai apresiasi yang akan diajarkan. Sementara itu, pihak pendidik profesional bertanggung jawab untuk melihat apakah skill, knowledge, dan apresiasi tersebut telah ditransformasikan ke dalam kurikulum yang dapat disampaikan kepada anak-anak dan generasi muda.
Beberapa contoh dari pandangan kurikulum sebagai reproduksi kultural ini adalah berbagai peristiwa partriotik dalam sejarah nasional, sistem ekonomi yang dominan (komunistik atau kapitalistik), berbagai konvensi kebudayaan, kebiasaan, dan aturan adat istiadat (lores & folkways), serta nilai-nilai agama yang ada di berbagai sekolah yang bernaung di bawah lembaga keagamaan seperti parochical school dan sekolah-sekolah umum. Pengembangan kurikulum semacam ini dimaksudkan untuk meneruskan nilai-nilai kultural kepada generasi penerus melalui lembaga penerus.
Pada mulanya, model kurikulum ini dikembangkan dalam masyarakat industri, ketika para orang tua tidak sempat lagi memberikan pelatihan pada anak-anak mereka, sehingga pelatihan tersebut di percayakan kepada lembaga-lembaga pendidikan, baik yang dikelola lembaga agama tertentu seperti parochial school, maupun yang dikelola oleh pemerintah dalam bentuk sekolah umum. Model pengembangan kurikulum semacam ini lebih dikenal sebagai model kurikulum berbasis masyarakat atau curriculum-based community (CBC)
4.         Kurikulum sebagai Kumpulan Tugas dan Konsep Diskrit
Pandangan ini berpendapat bahwa kurikulum merupakan satu kumpulan tugas dan konsep (discrete tasks and concept) yang harus dikuasai siswa. Dalam hal ini, diasumsikan bahwa penguasaan tugas-tugas yang saling bersifat diskrit (berdiri sendiri) tersebut adalah untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Biasanya, tujuan yang dimaksud memiliki interpretasi behavioral yang spesifik, misalnya mempelajarai suatu tugas baru atau dapat melakukan sesuatu yang lebih baik. PEndekatan ini berkembang dari program-program training dalam bisnis, industry, dan kemiliteran.

5.         Kurikulum sebagai Agenda Rekonstruksi Sosial
Sejauh mana keberanian sekolah membangun suatu tatanan sosial yang baru (Dare the school build a new social order)? Pertanyaan ini merupakan judul karya George S. Counts (1932) yang dipandang sebagai salah seorang perintis rekonstruksionisme sosial dalam pendidikan. Ide Counts tersebut banyak diperjuangkan oleh Theodore Brameld dalam decade 1940-an dan 1950-an, yang banyak terinspirasi pemikiran Dewey. Pandangan ini berpendapat bahwa sekolah harus mempersiapkan suatu agenda pengetahuan dan nilai-nilai yang diyakini dapat menuntun siswa memperbaiki masyarakat dan institusi kebudayaan, serta berbagai keyakinan dan kegiatan praktik yang mendukungnya.
6.         Kurikulum sebagai Currere
Salah satu pandangan yang paling mutakhir terhadap dimensi kurikulum adalah pandangan yang menekankan pada bentuk kata kerja kurikulum itu sendiri, yaitu currere. Sebagai pengganti interpretasi dari etimologi arena pacu atau lomba (race course) kurikulum, currere merujuk pada jalannya lomba dan menekankan masing-masing kapasitas individu untuk merekonseptualisasi otobiografinya sendiri. Hal ini ditegaskan oleh Scubert (1986) sebagaimana dalam kutipan berikut:
“Instead of taking to the interpretation from the race course etymology of curriculum, currere refers to the running of the race and emphasis the individual’s own capacity to reconceptualize his or her autobiography”.
Pemikiran Schubert tersebut didukung oleh Pinar dan Grummet (1976) yang mengilustrasikan bahwa masing-masing individu berusaha menemukan pengertian (meaning) di tengah-tengah berbagai peristiwa terakhir yang dialaminya, kemudian bergerak secara historis ke dalam pengalamannya sendiri di masa lampau untuk memulihkan dan membentuk kembali pengalaman semula (to recover and reconstitute the origins), serta membayangkan dan menciptakan berbagai arah yang saling bergantung dengan subdivis-subdivisi pendidikan lainnya.
Dalam konteks ini, perlu dipertimbangkan perspektif ekologis, yaitu makna dari segala sesuatu harus dipandang secara kontinyu berikut interdependensinya dengan kekuatan-kekuatan yang mempengaruhinya. Dengan demikian, karakter kurikulum membentuk dan dibentuk oleh berbagai hubungan eksternal dengan pengetahuan, perspektif dan praktik-praktik dalam domain kependidikan lainnya seperti administrasi, supervisi, dasar-dasar pendidikan (sejarah dan filsafat pendidikan, termasuk sosiologi, politik, ekonomi, antropologi, bahkan perspektif sastra), studi kebijakan, evaluasi, metodologi penelitian, subject areas, jenjang dan tingkatan pendidikan, pengajaran, pendidikan khusus, psikologi pendidikan, dan sebagainya. Oleh karena beberapa di antara bidang di atas memiliki relevansi langsung dengan kurikulum jika dibandingkan dengan bidang lainnya, maka bidang-bidang yang lebih relevan tersebut perlu dianalisis secara lebih luas dan mendalam.
7.        Perbedaan antara Kurikulum Lama dan Kurikulum Baru
Di antara kedua pola kurikulum baru dan lama terdapat perbedaan yang cukup fundamental, antara lain sebagai berikut.
1.      Kurikulum lama berorientasi pada masa lampau, karena berisikan pengalaman-pengalaman masa lampau. Guru mengajarkan berbagai hal yang telah dialami sebelumnya. Di lain pihak, kurikulum baru berorientasi pada masa sekarang, sebagai persiapan untuk masa yang akan datang. Pengajaran berdasarkan unit atau topik dari kehidupan masyarakat serta sesuai dengan minat dan kebutuhan para siswa.
2.      Kurikulum lama tidak berdasarkan filsafat pendidikan yang jelas, sulit dipahami, dan tidak ada kesatuan pendapat di antara kalangan guru tentang filsafat pendidikan yang dianut tersebut. Akibatnya, setiap guru memiliki tafsiran sendiri tentang berbagai hal yang akan diajaran kepada siswa, sehingga pengajaran tidak konsisten dengan pengalaman yang diperlukan siswa. Di lain pihak, kurikulum baru berdasarkan pada filsafat pendidikan yang jelas, yang dapat diajarkan ke dalam serangkaian tindakan yang nyata dalam kehidupan sehari-hari.
3.      Kurikulum lama berdasarkan pada tujuan pendidikan yang mengutamakan perkembangan segi pengetahuan akademik dan ketrampilan, dengan mengabaikan perkembangan sikap, cita-cita, kebiasaan, dan sebagainya. ‘Belajar’ lebih ditekankan pada unsur mengingat dan latihan-latihan belaka. Adapun penguasaan pengetahuan dan keterampilan tersebut dimaksudkan untuk memperoleh ijazah atau kenaikan kelas. Sebailknya, kurikulum baru bertujuan untuk mengembangkan keseluruhan pribadi siswa. ‘Belajar’ bukan untuk memperoleh ijazah, melainkan agar mampu hidup di dalam masyarakat.
4.      Kurikulum lama berpusat pada mata pelajaran, yang diajarkan secara terpisah. Terkadang memang diadakan semacam korelasi, tetapi korelasi tersebut hanya dilakukan di antara unsur-unsur tertentu saja dalam beberapa mata pelajaran. Gagasan untuk memadukan beberapa mata pelajaran telah ada, namun masih merupakan suatu broadfield (bidang studi) yang sempit. Dalam kurikulum lama, mata pelajaran hanya berfungsi sebagai alat. Sebaliknya kurikulum baru disusun berdasarkan masalah atau topik tertentu. Siswa belajar dengan mengalami sendiri, sehingga terjadi proses modifikasi dan penguatan tingkah laku melalui pengalaman dengan menggunakan mata pelajaran. Oleh karena itu, kurikulum disusun dalam bentuk bidang studi yang luas atau dalam bentuk integrasi dari semua mata pelajaran.
5.      Kurikulum lama hanya didasarkan pada buku pelajaran (textbook) sebagai sumber bahan dalam mengajarkan mata pelajaran. Meskipun buku-buku sumber tersebut sering diperbaiki, namun seringkali bahan yang terkandung di dalamnya sudah tidak up to date lagi, bahkan seringkali pemilihan bahan tidak selaras dengan filsafat dan tujuan pendidikan yang hendak dicapai. Berbagai permasalahan dalam masyarakat yang sesuai dengan minat dan kebutuhan siswa pun tidak pernah disinggung. Sebaliknya, kurikulum baru bertitik tolak dari masyarakat dalam kehidupan keseharian, yang disesuaikan dengan tingkat perkembangan, minat, dan kebutuhan individu. Bahkan, sumber yang paling luas adalah masyarakat itu sendiri, sedangkan buku hanya menjadi sumber pelengkap.
6.      Kurikulum lama dikembangkan oleh masing-masing guru secara perorangan. Gurulah yang menentukan mata pelajaran dalam kurikulum, mereka yang menentukan bahan dan pengalaman yang akan diajarkan, dan mereka pula yang menentukan sumber bahan. Pendek kata, berhasil atau tidaknya kurikulum bergantung pada guru secara perorangan, atau dengan kata lain guru merupakan suatu ‘cardinal factor’ dalam keberhasilan kurikulum sekolah. Di lain pihak, kurikulum baru dikembangkan oleh sekelompok guru secara bersama-sama atau oleh departemen tertentu. Setiap guru terikat pada konsep yang telah disusun oleh kelompok atau departemen tersebut, dengan tidak mengurangi kebebasan guru untuk mengadakan beberapa penyesuaian dalam batas-batas tertentu.