A. Pengertian Asbabun Nuzul
Secara
etimologis kata asbabun nuzul berasal dari kata “asbab” dan “nuzul”.[1]
Kata asbab merupakan bentuk jamak dari kata sababun yang berarti sebab,
alasan, illat.[2] Sedangkan kata nuzul berasal dari kata kerja nazala
yang berarti turun.[3] Secara tersminologis, Asbabun nuzul dapat
diartikan sebab-sebab yang melatarbelakangi turunnya ayat (Al-Qur’an),
seperti halnya asbabul wurud dalam istilah ulumul hadits. Menurut
Al-Zarqani, asbabun nuzul adalah suatu kejadian yang menyebabkan
turunnya satu atau beberapa ayat, atau suatu peristiwa yang dapat
dijadikan petunjuk hukum berkenaan dengan turunnya suatu ayat.
Pernyataan senada juga diutarakan oleh Shubhi Al-Shalih bahwa sesuatu
yang menyebabkan turunnya satu atau beberapa ayat yang memberi jawaban
terhadap sebab itu, atau menerangkan hukumnya pada masa terjadinya sebab
itu.[4] Sedangkan Ash-Shabuni mengatakan bahwa turunnya suatu ayat
disebabkan atau oleh adanya suatu peristiwa atau kejadian yang
berhubungan dengan peristiwa tersebut, baik itu berupa pertanyaan dari
para sahabat ataupun kejadian yang berkaitan dengan urusan agama.[5]
Berdasarkan
pengertian yang dikemukakan para ahli di atas dapat ditarik dua kategori
mengenai sebab turunnya sebuah ayat. Pertama, sebuah ayat turun ketika
terjadi sebuah peristiwa sebagaimana yang diriwayatkan Ibn Abbas tentang
perintah Allah SWT kepada Nabi SAW untuk memperingatkan kerabat
dekatnya. Lalu, Nabi SAW naik ke bukit Shafa dan memperingatkan kaum
kerabatnya akan azab yang pedih. Karena itu, Abu Lahab berkata:
“Celakalah engakau! Apakah engakau mengumpulkan kami hanya untuk urusan
ini? Lalu ia berdiri, dan turunlah surah al-Lahab. Kedua, Sebuah ayat
turun bila Rasulullah SAW ditanya tentang sesuatu hal, untuk menjawab
pertanyaan itu turunlah ayat Al-Qur’an yang menerangkan hukumnya seperti
pengaduan Khaulah binti Tsa’labah kepada Nabi SAW berkenaan dengan
zhihar yang dijatuhkan suaminya Aus bin Samit, padahal saat itu, Khaulah
binti Tsa’labah telah menghabiskan masa mudanya dan sering melahirkan
sehingga menjadi tua karenanya. Ketika suaminya men-zhihar dirinya saat
sudah berusia tua dan tidak bisa melahirkan lagi, ia pun protes. Lalu,
mengajukan pertanyaan kepada Rasulullah SAW tentang kasus yang
menimpanya. Kemudian turunlah ayat: “Sesungguhnya Allah telah mendengar
perkataan perempuan yang mengadu kepadamu tentang suaminya”, yakni Aus
bin Samit.[6]
Dari pernyataan
di atas, dapat diketahui bahwa asbabun nuzul merupakan peristiwa atau
kejadian yang melatarbelakangi turunnya satu atau beberapa ayat dalam
rangka menjawab, menjelaskan dan menyelesaikan masalah-masalah yang
timbul dari peristiwa tersebut. Jadi dapat dipahami bahwa asbabun nuzul
ada beberapa unsur penting yang harus dilihat dalam menganalisa sebab
turunnya suatu ayat, yaitu adanya suatu peristiwa, pelaku, waktu, dan
tempat perlu diidentifikasi dengan cermat guna menerapkan ayat-ayat itu
pada kasus lain dan di tempat dan waktu yang berbeda.[7] Hal ini tidak
berarti bahwa setiap ayat yang turun disebabkan oleh suatu peristiwa
atau kejadian, atau karena adanya pertanyaan kepada Nabi mengenai agama.
Tetapi ada diantara ayat yang turun tanpa adanya sebab, yaitu mengenai
aqidah, iman, kewajiban-kewajiban dalam Islam.
B. Ilmu Asbabun Nuzul
Allah SWT
menjadikan segala sesuatu melalui sebab- musabbab dan menurut suatu
ukuran. Tidak seorangpun lahir dan melihat cahaya kehidupan tanpa
melalui sebab-musabbab dan melalui berbagai perkembangan. Tidak sesuatu
pun terjadi dalam wujud ini kecuali setelah melewati pendahuluan dan
perencanaan, begitu juga pada perubahan cakrawala pemikiran manusia
terjadi setelah melalui persiapan dan pengarahan. Itulah Sunnatullah
(hukum Allah) yang berlaku bagi semua ciptaan-Nya.
Tidak ada bukti
yang menyingkap kebenaran sunnatullah itu selain sejarah, demikian pula
penerapannya dalam kehidupan. Seorang sejarahwan yang berpandangan
tajam dan cermat mengambil kesimpulan, dia tidak akan sampai kepada
fakta sejarah jika tidak mengetahui sebab-musabbab yang mendorong
terjadinya peristiwa.
Tapi tidak
hanya sejarah yang menarik kesimpulan dari rentetan peristiwa yang
mendahuluinya tapi juga ilmu alam, ilmu sosial dan kesusastraan pun
dalam pemahaman memerlukan sebab-musabbab yang melahirkannya, disamping
tentu saja pengetahuan tentang prinsip-prinsip serta maksud tujuan.[8]
C. Urgensi Mempelajari Ilmu Asbabun Nuzul
Ada orang yang
berpendapat bahwa mengetahui Asbabun Nuzul itu tidak begitu penting,
karena tidak mempunyai tempat dalam perkembangan sejarah dan
kisah-kisah, bahkan tidak merupakan kebutuhan pokok bagi orang yang
hendak menafsirkan Kitabullah. Menurut penulis, ini adalah pendapat yang
keliru dan merupakan ucapan yang tidak bisa diterima, dan sangat jelas
perkataan seperti itu tidak keluar dari orang yang mengetahui tentang
Al-Qur’an, juga tidak pernah membaca pendapat para ulama tafsir.
Berkenaan dengan hal di atas maka penulis akan memaparkan pendapat para ulama tentang pentingnya mempelajari Asbabun Nuzul:
1. Imam
Al-Wahidi mengatakan: Tidak mungkin orang bisa mengetahui tafsir suatu
ayat, tanpa mengetahui kisah dan penjelasan mengenai turunnya lebih
dahulu.
2. Imam Ibnu
Daqieq al-Ied mengemukakan bahwa keterangan sebab turunnya ayat adalah
cara yang kuat dan penting dalam memahami makna-makna Al-Qur’an.
3. Ibnu
Taimiyah mengatakan: Mengetahui asbabun nuzul sangat membantu untuk
memahami ayat. Sesungguhnya dengan mengetahui sebab’ akan mendapatkan
ilmu Musabbab.[9]
Dalam Ulumul
Qur’an, ilmu asbabun nuzul merupakan ilmu yang sangat penting dalam
menunjukkan hubungan dialektika antara teks dan realita.[10] Dalam
uraian lebih rinci, urgensi asbabun nuzul dalam memahami Al-Qur’an
sebagai berikut:[11]
1.
Membantu dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an dan mengatasai
ketidakpastian dalam menangkap pesan dari ayat-ayat tersebut. Umpamanya
dalam Al-qur’an surah Al-Baqarah (2):115
ولله المشرق والمغرب فأينما تولوا فثم وجه الله
Terjemahnya:
“Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap disitulah wajah Allah”.[12]
Dalam Kasus
Shalat: Dengan melihat ayat di atas, seseorang boleh menghadap kiblat
ketika shalat. Akan tetapi, setelah melihat asbabun nuzul-Nya,
kekeliruan interpretasi tersebut sangat jelas, sebab ayat di atas
berkaitan dengan seseorang yang sedang berada dalam perjalanan dan
melakukan shalat di atas kendaraan dan tidak diketahui dimana arah
kiblat.
2. Mengatasi keraguan ayat yang diduga mengandung pengertian umum; Umpamanya dalam surah Al-An’am (6):145 dikatakan:
قُلْ لَا أَجِدُ
فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ
يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ
رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ
بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Terjemahnya:
“Katakanlah:
Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang
diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu
bangkai, atau darah yang mengalir, atau daging babi – Karena
sesungguhnya semua, barang siapa yang dalam keadaan terpaksa, sedang
dia tidak menginginkannya dan tidak pula melampaui batas, maka
sesungguhnya Tuhan-Mu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.[13]
Menurut
Asy-Syafi’i pesan ayat ini tidak bersifat umum, tapi untuk mengatasi
kemungkinan adanya keraguan dalam memahami ayat di atas, beliau
menggunakan asbabun nuzul. Ayat ini menurutnya, diturunkan sehubungan
dengan orang-orang kafir yang tidak mau memakan sesuatu, kecuali apa
yang telah dihalalkan Allah, dan menghalalkan yang telah diharamkan
Allah merupakan kebiasaan orang-orang kafir, terutama orang yahudi, maka
turunlah ayat diatas.
3.
Mengkhususkan hukum yang terkandung dalam ayat Al-Qur’an bagi ulama
yang berpendapat bahwa yang menjadi pegangan adalah sebab yang bersifat
khusus dan bukan lafaz yang bersifat umum.
4.
Mengidentifikasikan pelaku yang menyebabkan turunnya ayat Al-Qur’an
sebagaimana kasus Aisyah yang pernah menjernihkan kekeliruan Marwan yang
menunjuk Abdul Rahman Ibn Abu Bakar sebagai orang yang menyebabkan
turunnya ayat. Untuk meluruskan masalah ini, Aisyah berkata kepada
Marwan, “Demi Allah, bukan dia yang menyebabkan ayat ini turun, dan aku
sanggup menyebutkan siapa orang yang sebenarnya.
5.
Memudahkan untuk menghafal dan memahmi ayat, serta untuk menetapkan
wahyu ke dalam hati orang yang mendengarnya, hal ini karena hubungan
sebab akibat hukum, peristiwa dan pelaku, masa dan tempat merupakan
jalinan yang dapat mengikat hati.
D. Cara Mengetahui Asbabun Nuzul
Asbabun nuzul
diketahui melalui riwayat yang disandarkan kepada Nabi tetapi tidak
semua riwayat yang disandarkan kepadanya dapat dipegang. Riwayat yang
dapat dipegang adalah riwayat yang memenuhi syarat-syarat tertentu
sebagaimana ditetapkan oleh para ahli hadis, Secara khusus dari riwayat
asbabun nuzul adalah riwayat dari orang yang terlibat dan mengalami
peristiwa yang diriwayatkannya (yaitu pada saat wahyu diturunkan).
Riwayat yang berasal dari para tabi’in yang tidak merujuk kepada
Rasulullah SAW dan sahabatnya dianggap lemah (Dhaif); Sebab itu,
seseorang tidak dapat begitu saja menerima pendapat seorang penulis atau
orang seperti itu bahwa suatu diturunkan dalam keadaan tertentu. Karena
itu, kita harus mempunyai pengetahuan tentang siapa yang meriwayatkan
peristiwa tersebut, dan apakah ia memang sungguh-sungguh menyaksikan,
dan kemudian siapa yang menyampaikannya kepada kita.[14]
E. Hikmah Mempelajari Asbabun Nuzul
Adapun hikmah
mempelajari asbabun nuzul adalah mencakup hikmah atas kaum muslimin dan
kaum non muslim dan hikmah yang dapat di petik oleh kaum muslimin dalam
mempelajari asbabun nuzul adalah dapat menambah iman kaum muslimin
setelah mempelajari asbabun nuzul. Dan adapun hikmah yang dapat di ambil
oleh kaum non muslimin adalah dapat menambah kepercayaan mereka
terhadap Al-Qur’an sehingga dengan mengetahui sebab turunnya ayat di
dalam Al-Qur’an dapat menjadikan mereka masuk ke dalam Islam[15]
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Jalaluddin, al-Itqan fi Ulum Al-Qur’an (Maktabah al-Tsaqafah, Lebanon, tahun 1937, Jilid 1)
Anwar, Rosihan, Ulumul Qur’an, Cet. III; Bandung: Daftar Pustaka, 2006
Ash-Shabuni, Muhammad Ali, at-Tibyan fi Ulumil Qur’an, Damaskus: Maktabah al-Ghazali, 1390
Ash-Shalih, Subhi, Membahas Ilmu-ilmu Al-Qur’an, Beirut: Pustaka Firdaus, 1985
Ash-Shalih,
Subhi Mabahits fi ulumil Qur’an, diterjemahkan oleh Tim Pustaka Firdaus
dengan judul, Membahas Ilmu-ilmu Al-Qur’an, Cet. XIX; Jakarta: Penerbit
Pustaka Firdaus, 2004
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta: CV. Indah Press, 2002)
Izzan, Ahmad,
Ulumul Qur’an (Telaah Tekstual dan Kontekstual Al-Qur’an), Cet. III;
Bandung: Tafakur (Kelompok HUMANIORA)-Anggota Ikapi, 2009
Munawwir, Ahmad Warson , Almunawwir: Kamus Arab-Indonesia, Cet. XIV; Surabaya: Pustaka Progressif, 1997
Shihab, Quraish, dkk., Sejarah dan Ulumul Qur’an, Cet. I; Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999
Zayd, Nasr Hamid Abu, Tekstualitas Al-Qur’an, (Cet. I; Yogyakarta: Lkis, 2001)
http://www.islampedia.com/mie2/ooloo/koran3.htm#taarifaccessed, 15-09-2009
1 Rosihan Anwar, Ulumul Qur’an, (Cet. III; Bandung: Daftar Pustaka, 2006), h. 60
[2] Ahmad Warson Munawwir , Almunawwir: Kamus Arab-Indonesia, (Cet. XIV; Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), h. 602
[3] Ibid., h. 409
[4] Quraish
Shihab., dkk., Sejarah dan Ulumul Qur’an, (Cet. I; Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1999), h. 78. Lihat juga, Subhi As-Shalih dalam Mabahits fi
ulumil Qur’an, diterjemahkan oleh Tim Pustaka Firdaus dengan judul,
Membahas Ilmu-ilmu Al-Qur’an, (Cet. XIX; Jakarta: Penerbit Pustaka
Firdaus, 2004), h. 173.
[5] Muhammad Ali Ash-Shabuni, at-Tibyan fi Ulumil Qur’an, (Damaskus: Maktabah al-Ghazali:, 1390), h . 22
[6] Ahmad
Izzan, Ulumul Qur’an (Telaah Tekstual dan Kontekstual Al-Qur’an),
(Cet. III; Bandung: Tafakur (Kelompok HUMANIORA)-Anggota Ikapi, 2009),
h. 181-182
[7] Quraish shihab., dkk., Op Cit., h. 78
[8] Subhi As-Shalih, Membahas Ilmu-ilmu Al-Qur’an, (Beirut: Pustaka Firdaus, 1985), h. 153
[9] Jalaluddin Abdurrahman, al-Itqan fi Ulum Al-Qur’an (Maktabah al-Tsaqafah, Lebanon, tahun 1937, Jilid 1), h. 28
[10] Nasr Hamid Abu Zayd, Tekstualitas Al-Qur’an, (Cet. I; Yogyakarta: Lkis, 2001), h. 125
[11] Rosihan Anwar, Op Cit,.h. 64-66
[12] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta: CV. Indah Press, 2002), h. 31
[13] Ibid., h. 212
[14] Quraish Shihab., dkk., Op Cit., h. 81
[15] http://www.islampedia.com/mie2/ooloo/koran3.htm#taarifaccessed, 15-09-2009