Saturday, April 7, 2012

Nikah Mut'ah (Kawin Kontrak) dalam Perspektif Hukum


MAKALAH
NIKAH MUT’AH (KAWIN KONTRAK) DALAM PERSPEKTIF
HUKUM ISLAM

A. Pendahuluan
Nikah mut'ah atau kawin kontrak akhir-akhir ini banyak dilakukan oleh sebagian umat Islam Indonesia, terutama kalangan pemuda dan mahasiswa. Praktik nikah mut`ah tersebut telah menimbulkan keprihatinan, kekhawatiran, dan keresahan bagi para orang tua, ulama, pendidik, tokoh masyarakat, dan umat Islam Indonesia pada umumnya, serta dipandang sebagai alat propaganda paham Syi`ah di Indonesia.
Dan bahwa mayoritas umat Islam Indonesia adalah penganut paham Sunni (Ahlus Sunnah wal Jama`ah) yang tidak mengakui dan menolak paham Syi`ah secara umum dan ajarannya tentang nikah mut’ah secara khusus.
Kawin kontrak dalam perkembangannya banyak menimbulkan pro kontra sehingga banyak pendapat-pendapat yang bermunculan tentang keberadaan jenis perkawinan ini. Tanggapan maupun pertanyaan yang muncul adalah mengenai boleh atau tidakkah melakukan kawin kontrak atau mut’ah. Dalam hal ini tentunya harus mendapatkan penjelasan dari para ulama atau para imam mengenai apa yang menyebabkan munculnya kawin kontrak serta apa yang mendasari seseorang melakukan mut’ah berdasarkan riwayat serta dalil-dalil kuat sehingga kemudian hal-hal yang menyangkut atau berkenaan dengan kawin kontrak dapat lebih dipahami. Oleh karena itu, dalam makalah ini akan dibahas tentang hukum nikah mut’ah dalam perspektif Islam dan seluk beluk mengenai nikah mut’ah.
B. Nikah Mut’ah dan Seluk Beluknya
  1. Pengertian Nikah Mut’ah
Nikah artinya suatu akad yang menghalalkan pergaulan antara seorang laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim dan menimbulkan hak dan kewajiban antara keduanya.
Dalam pengertian yang luas, pernikahan adalah merupakan suatu ikatan lahir antara dua orang, laki-laki dan perempuan untuk hidup bersama dalam suatu rumah tangga dan keturunan yang dilangsungkan menurut ketentuan-ketentuan syariat Islam. [1]
Kata “mut’ah” berasal dari kata “mata’a” yang berarti bersenang-senang. Perbedaan dengan pernikahan biasa, selain adanya pembatasan waktu adalah: (1) tidak saling mewarisi, kecuali kalau diisyaratkan, (2) lafadz ijab yang berbeda, (3) tidak ada talak, sebab sehabis kontrak, pernikahan itu putus, (4) tidak ada nafkah iddah.[2]
Nikah mut’ah adalah akad yang dilakukan oleh seorang laki-laki terhadap perempuan dengan memakai lafadz “tamattu, istimta” atau sejenisnya. Nikah mut’ah atau kawin kontrak (muaqqat) dilakukan dengan jangka waktu tertentu atau tak tertentu, tanpa wali ataupun saksi.[3] Sayyid Sabiq mengatakan bahwa nikah mut’ah disebut juga kawin sementara atau kawin terputus, karena laki-laki yang mengawini perempuannya itu menentukan waktu, sehari atau seminggu atau sebulan dan seterusnya. Dinamakan mut’ah karena laki-lakinya bermaksud untuk bersenang-senang secara temporer.[4]
  1. Alasan Melakukan Kawin Kontrak
Banyak alasan seseorang melakukan kawin kontrak, mulai dari untuk mendapatkan kepuasan biologis, hingga solusi masalah ekonomi yang memaksa beberapa orang untuk melakukan kawin kontrak. Secara umum faktor pemicu praktik kawin kontrak antara lain, pertama, pengetahuan agama yang kurang, membentuk penilaian nikah kontrak sah dan lebih baik daripada zina. Padahal syari’at ini dulu ada, hanya bagi para sahabat Nabi saw. yang pergi jauh untuk berperang; di mana tak ada transportasi atau teknologi modern yang bisa dengan segera menghubungkan mereka pada keluarga (istri).
Kedua, pendidikan, lapangan kerja yang sempit, dan ekonomi. Rendahnya akses pendidikan, minimnya lapangan kerja yang disediakan negara, dan kemiskinan perempuan membuat kawin kontrak jadi jalan pintas.
Ketiga, budaya patriarki, yang melihat perempuan sebagai aset yang bisa dijualbelikan untuk mensejahterakan keluarga; serta mindset masyarakat yang masih melihat tinggi rendah manusia berdasarkan keturunan, warna kulit, jabatan, harta, ataupun jenis kelamin.
Sebagai contoh, di kampung Warung Kaleng Bogor pada bulan-bulan tertentu (Juli, agustus dan September) banyak wisatawan asing khususnya dari negeri Arab yang melakukan kawin kontrak dengan perempuan-perempuan asal daerah tersebut. Perkawinan itu dimaksud hanya untuk “menemani” mereka selama berada di Indonesia.
Dalam kawin kontrak perempuan paling dirugikan. Real atau dollar yang didapat tidak sebanding dengan resiko yang diterima. Misalnya, hilangnya harkat kemanusiaan akibat sekedar jadi pelampiasan nafsu; Infeksi Menular Seksual (IMS) akibat berganti-ganti pasangan; Tidak adanya hak nafkah secara wajar; Bila hamil, diri dan janin atau anak terlantar hak-haknya; Jika terjadi kekerasan fisik, psikis, seksual, ekonomi, atau lainnya, tidak ada kekuatan hukum bagi perempuan untuk melapor ke yang berwajib.[5]
  1. Dampak Negatif Kawin Kontrak
Kawin kontrak dipandang sebagai sesuatu yang mengasyikkan. Bagaimana tidak? Dengan tanggung jawab dan biaya yang terbilang ringan, seorang pria sudah bisa memuaskan hawa nafsunya pada wanita. Dengan demikian, tujuan kawin kontral hanya demi kepentingan birahi seseorang yang tidak ingin melakukan perzinahan. Namun demikian, dampak negatif kawin kontrak jauh lebih banyak daripada manfaatnya, yaitu:
  1. Penyia-nyiaan anak. Anak hasil kawin kontrak sulit disentuh oleh kasih sayang orang tua (ayah). Kehidupannya yang tidak mengenal ayah membuatnya jauh dari tanggung jawab pendidikan orangtua, asing dalam pergaulan, sementara mentalnya terbelakang. Keadaannya akan lebih parah jika anak tersebut perempuan. Kalau orang-orang menilainya sebagai perempuan murahan, bisakah dia menemukan jodohnya dengan cara yang mudah? Kalau iman dan mentalnya lemah, tidak menutup kemungkinan dia akan mengikuti jejak ibunya.
  2. Kemungkinan terjadinya nikah haram. Minimnya interaksi antara keluarga dalam kawin kontrak apalagi setelah perceraian, membuka jalan terjadinya perkawinan antara sesama anak seayah yang berlainan ibu, atau bahkan perkawinan anak dengan ayahnya. Sebab tidak ada saling kenal di antara mereka.
  3. Menyulitkan proses pembagian harta warisan. Ayah anak hasil kawin kontrak, lebih-lebih yang saling berjauhan sudah biasanya sulit untuk saling mengenal. Penentuan dan pembagian harta warisan tentu tidak mungkin dilakukan sebelum jumlah ahli waris dapat dipastikan.
  4. Pencampuradukan nasab lebih-lebih dalam kawin kontrak bergilir. Sebab disini sulit memastikan siapa ayah dari anak yang akan lahir. [6]
C. Hukum Kawin Kontrak (Nikah Mut’ah)
Memang benar bahwa nikah mut’ah ini pernah dibolehkan ketika awal Islam, tapi kemudian diharamkan, sebagaimana dinyatakan oleh al-Imam an-Nawawi dalam kitabnya Syarh Shahih Muslim:
وَالصَّوَاب الْمُخْتَار أَنَّ التَّحْرِيم وَالْإِبَاحَة كَانَا مَرَّتَيْنِ، وَكَانَتْ حَلَالًا قَبْل خَيْبَر ، ثُمَّ حُرِّمَتْ يَوْم خَيْبَر، ثُمَّ أُبِيحَتْ يَوْم فَتْح مَكَّة وَهُوَ يَوْم أَوْطَاس، لِاتِّصَالِهِمَا، ثُمَّ حُرِّمَتْ يَوْمئِذٍ بَعْد ثَلَاثَة أَيَّام تَحْرِيمًا مُؤَبَّدًا إِلَى يَوْم الْقِيَامَة، وَاسْتَمَرَّ التَّحْرِيم
Artinya:
“Yang benar dalam masalah nikah mut’ah ini adalah bahwa pernah dibolehkan dan kemudian diharamkan sebanyak dua kali; yakni dibolehkan sebelum perang Khaibar, tapi kemudian diharamkan ketika perang Khaibar. Kemudian dibolehkan selama tiga hari ketika fathu Makkah, atau hari perang Authas, kemudian setelah itu diharamkan untuk selamanya sampai hari kiamat”.
Alasan kenapa ketika itu dibolehkan melaksanakan nikah mut’ah, karena ketika itu dalam keadaan perang yang jauh dari istri, sehingga para sahabat yang ikut perang merasa sangat berat. Dan lagi pada masa itu masih dalam masa peralihan dari kebiasaan zaman jahiliyah. Jadi wajar jika Allah Swt memberikan keringanan (rukhshah) bagi para sahabat ketika itu.[7]
Seluruh Imam Madzab menetapkan nikah mut’ah sebagai haram. Alasannya adalah:
  1. Nikah mut’ah tidak sesuai dengan yang dimaksudkan oleh Al-Qur’an, juga tidak sesuai dengan masalah yang berkaitan dengan talak, iddah, dan kewarisan. Jadi, pernikahan seperti itu batal sebagaimana bentuk pernikahan lain yang dibatalkan Islam.
  2. Banyak hadits yang dengan tegas menyebutkan haramnya nikah mut’ah. Dalam suatu hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Rasulullah Saw mengharamkan nikah mut’ah dengan sabdanya:
يٰا اَيُّهَا النَّاسُ اِنِيّ كُنْتُ اَذَنْتَ لَكُمْ فِي اْلِاسْتِمْتَاعِ اَلاَ وَاَنَّ اللهَ قَدْ حَرَّمَهَا اِلىَ يَوْمِ اْلقِيَامَةِ                                                                          
Artinya:
“Wahai manusia! Aku pernah mengizinkan kamu nikah mut’ah, tetapi sekarang ketahuilah bahwa Allah telah mengharamkannya sampai hari kiamat”.
  1. Umar ketika menjadi khalifah berpidato dengan menyatakan keharaman nikah mut’ah ketika itu para sahabat langsung menyetujuinya.
  2. Al-Khathabi menyatakan bahwa nikah mut’ah telah disepakati keharamannya oleh ulama madzab, kecuali ulama Syi’ah Imam 12 yang membolehkan perkawinan ini. Dalil yang mereka rujuk adalah riwayat yang membolehkan perkawinan ini pada awal periodisasi munculnya Islam, ketika dalil yang menasakhnya belum turun.
  3. Nikah mut’ah sekadar bertujuan pelampiasan syahwat, bukan untuk mendapatkan keturunan dan memeliharanya. Nikah mut’ah hanyalah pelampiasan nafsu yang menjadikan perempuan sebagai objek seksualitas laki-laki dengan mengatasnamakan kondisi darurat. Oleh karena itu, nikah mut’ah disamakan dengan zina, jika dilihat dari segi tujuan untuk bersenang-senang semata-mata.
Jumhur Fuqaha menyatakan bahwa nikah mut’ah itu batil dengan mengambil dalil dari Al-Qur’an surat Al-Mu’minun ayat 5-6:
وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ)5) إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ (6)
 Artinya:
“ Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal itu tiada tercela.” (QS.Al-Mu’minun: 5-6)
Hikmah pengharaman nikah mut’ah adalah tidak terealisasinya tujuan-tujuan dasar pernikahan yang abadi dan langgeng, serta tidak bertujuan membentuk keluarga yang langgeng, sehingga dengan diharamkan, tidak akan lahir anak-anak hasil zina dan lelaki yang memanfaatkan nikah mut’ah untuk berbuat zina.
Kelompok Syi’ah memandang bahwa nikah mut’ah hukumnya boleh sepanjang kondisinya darurat, karena sejak awal diperbolehkannya nikah mut’ah adalah karena keadaan emergensi, yaitu ketika para sahabat sedang berperang, sedangkan mereka jauh dari istri-istri mereka.
Ibnu Abbas berpendapat bahwa hukumnya tidak haram secara menyeluruh karena dibolehkan dalam keadaan darurat, sebagaimana dibolehkan minum khamar dan makan bangkai dalam keadaan darurat.
Walaupun demikian, masih ada ikhtilaf antara ulama mengenai status hukum nikah mut’ah/kawin kontrak, yang kemudian terbagi menjadi dua golongan.
Golongan pertama, menyatakan nikah mut’ah mutlak haramnya. Pendapat ini adalah pendapat sebagian besar ulama. Mereka berdalil dengan surat Al-Mu’minun ayat 5-7. Menurut golongan ini, kebolehan melakukan hubungan seks hanya dengan dua cara, yaitu:
  1. Melalui istri, dan
  2. Melalui hamba sahaya.
Menurut jumhur ulama, nikah mut’ah tidak dapat dikategorikan ke dalam dua cara tersebut. Mut’ah bukan nikah dan bukan hamba sahaya. Jumhur menilai mut’ah adalah perbuatan yang melampaui batas, karena itu dianggap haram.
Golongan kedua, menghalalkan secara mutlak, pendapat ini didukung oleh Ashma binti Abu Bakar, Ibnu Mas’ud, dan golongan Syi’ah Imamiyah. Mereka berdalil dari Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 24.[8]
D. Penutup
Berdasarkan pemaparan makalah yang singkat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa hukum kawin kontrak/nikah mut’ah adalah haram. Meskipun ada sebagian kecil golongan yang membolehkan nikah mut’ah dengan alasan dalam keadaan darurat. Akan tetapi, sebaiknya nikah mut’ah ini tidak dilakukan karena akan mendatangkan madarat bagi wanita yang hanya menjadi objek hawa nafsu tanpa perlindungan dan tanpa jaminan, serta dampak negatif yang lain. Sekian pemaparan dari makalah ini dan semoga bermanfaat.
Tulisan ini bisa Anda download di http://www.ziddu.com/download/19158442/MakalahNikahMutahKawinKontrak.pdf.html semoga bermanfaat !!!!


DAFTAR PUSTAKA

Rifa’i, Moh. 1978. Fiqih Islam Lengkap. Semarang: PT. Karya Toha Putra
Sabiq, Sayyid. 1998. Fiqh Sunnah. Bandung: Al-Ma’arif
Saebani, Beni Ahmad. 2009. Fiqih Munakahat 1. Bandung: CV. Pustaka Setia



[1] Moh. Rifa’i, Fiqih Islam Lengkap, (Semarang: PT. Karya Toha Putra, 1978), hal. 453
[2] Beni Ahmad Saebani, Fiqih Munakahat 1 (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2009), hal. 67
[3] Ibid., hal. 55
[4] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah (Bandung: Al-Ma’arif, 1998), hal. 155
[8] Beni Ahmad Saebani, Op.Cit., hal. 55-68