Tuesday, December 18, 2012

Konsep Manusia dalam Pandangan Islam


BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang masalah
Manusia sesuai dengan kodratnya itu menghadapi tiga persoalan yang bersifat universal, dikatakan demikian karena persoalaan tersebut tidak tergantung pada kurun waktu ataupun latar belakang historis kultural tertentu. Persoalan itu menyangkut tata hubungan atar dirinya sebagai mahluk yang otonom dengan realitas lain yang menunjukkan bahwa manusia juga merupakan makhluk yang bersifat idependen.
Persoalaan lain menyangkut kenyataan bahwa manusia merupakan makhluk dengan kebutuhan jasmani yang nyaris tak berbeda dengan makhluk lain seperti makan, minum, kebutuhan akan seks, menghindarkan diri dari rasa sakit dan sebagainya tetapi juga sebuah kesadaran tentang kebutuhan yang mengatasinya, kebutuhan jasmaniah, yakni rasa aman, kasih sayang perhatian, yang semuanya mengisyaratkan adanya kebutuhan ruhaniah dan terakhir, manusia menghadapi problema yang menyangkut kepentiangan dirinya, rahasia pribadi, milik pribadi, kepentingan pribadi, kebutuhan akan kesendirian, namun juga tak dapat disangkan bahwa manusia tidak dapat hidup secara “soliter” (sendirian) melainkan harus “solider” (bersama-sama), hidupnya tak mungkin dijalani sendiri tanpa kehadiran orang lain.
 Belum lagi manusia dalam konsep Islam mempunyai tugas dan  tanggung jawab yang sangat berat yaitu  “’Abd Allah “ (hamba Allah) satu sisi dan sekaligus sebagai “Kholifah fil Ardh” (wakil Allah di muka bumi).
1.2  Rumusan Masalah
Dalam penyusunan makalah ini, penulis mengidentifikasi hal-hal yang mnjadi permasalahan, diantaranya:
  1. Bagaimana gambaran tentang manusia dalam filsafat pendidikan Islam?
  2. Bagaimana proses penciptaan manusia dalam Al-Qur’an?
  3. Bagaimana kedudukan manusia dalam filsafat pendidikan Islam?
  4. Apa tugas dan tanggung jawab manusia di bumi?
1.3  Maksud dan Tujuan Penyusunan
Maksud  dari pnyusunan makalah ini adalah agar pnulis dan pembaca mendapatkan gambaran tentang pandangan filsafat pendidikan terhadap manusia, agar mampu mnyikapi dalam filsafat pendidikan Islam.
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini agar penulis mampu mengaplikasikan yang dapat dipahami dalam makalah itu. Dan untuk yang membaca juga dapat memahami hal-hal yang kita penulis bahas dan jelaskan dalam makalah ini.
BAB II
PANDANGAN FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM
TERHADAP MANUSIA
2.1 Gambaran Tentang Manusia
Manusia adalah subyek pendidikan, sekaligus juga obyek pendidikan. Manusia dalam proses perkembangan kepribadiannya, baik menuju pembudayaan maupun proses kematangan dan intregitas, adalah obyek pendidikan. Artinya mereka adalah sasaran  atau bahan yang dibina. Meskipun kita sadarai bahwa perkembangan kepribadian adalah self development melalui self actifities, jadi sebagai subjek yang sadar mengembangkan diri sendiri. [1]
Dalam Al-Qur’an banyak ditemukan gambaran yang membicarakan tentang manusia dan makna filosofis dari penciptaannya. Manusia merupakan makhluk-Nya paling sempurna dan sebaik-baik ciptaan yang dilengkapi dengan akal pikiran. Dalam hal ini Ibn ‘Arbi misalnya menggambarkan hakikat manusia dengan mengatakan bahwa,”tak ada makhluk Allah yang lebih sempurna kecuali manusia, yang memiliki daya hidup, mengetahui, berkehendak, berbicara, melihat, mendengar, berfikir, dan memutuskan. Manusia adalah makhluk kosmis yang sangat penting, karena dilengkapi dengan semua pembawaan atau fitrahnya dan syarat-syarat yang diperlukan bagi mengemban tugas dan fungsinya sebagi makhluk Allah d muka bumi.[2]
Sedikitnya ada empat konsep yang digunakan Al-Qur’an untuk menunjuk pada makna manusia, namun secara khusus memiliki penekanan pengertian yang berbeda. Perbedaan tersebut dapat dilihat pada konsep berikut:
a.      Konsep al-Basyar
Kata al-Basyar dinyatakan dalam Al-Qur’an sebanyak 36 kali dan tersebar dalam 26 surat. Secara etimologi al-Basyar juga diartikan mulamasah,yaitu persentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan. Makna ini dapat dipahami bahwa manusia merupakan makhluk yang memiliki segala sifat kemanusiaan yang terbatas, seperti makan, minum, seks, keamanan, kebahagiaan, dan lain sebagainya. Penunjukkan kata al-Basyar ditunjukan Allah kepada seluruh manusia tanpa kecuali. Demikian pula halnya dengan para rasul-rasul-Nya. Hanya saja kepada mereka diberikan wahyu, sedangkan kepada manusia umumnya tidak diberikan. Firman Allah SWT.
Artinya : “katakanlah : Sesungguhnya aku (Muhammad) hanyalah seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku…” (QS. Al Kahfi/18:110)[3] 
Berdasarkan konsep al- Basyr, manusia tak jauh berbeda dengan makhluk biologis lainnya. Dengan demikian kehidupan manusia terikat kepada kaidah-kaidah prinsip kehidupan biologis lain seperti berkembang biak, mengalami fase pertumbuhan dan perkembangan dalam mencapai tingkat kematangan serta kedewasaan.
Manusia memerlukan makan, minum dengan kreteria halal serta bergizi (QS. 16 : 69) untuk hidup dan ia juga butuh akan pasangan hidup melalui jalur pernikahan (QS. 2 : 187) untuk menjaga, melanjutkan proses keturunanya (QS. 17: 23-25). Dan Allah SWT memberikan kebebasan dan kekuatan kepada manusia sesuai dengan batas kebebasan dan potensi yang dimilikinya untuk mengelola dan memanfaatkan alam semesta, sebagai salah satu tugas kekhalifahannya di muka bumi.
b.      Konsep al-Insan
Kata al-Insan yang berasal dari kata al-uns, dinyatakan dalam al-Qur’an sebanyak 73 kali dan tersebar dalam 43 surat. Secara etimologi, al-Insan dapat diartikan harmonis, lemah lembut, tampak, atau pelupa.
Dan ada juga dari akar kata Naus yang mengandung arti “pergerakan atau dinamisme”. Merujuk pada asal kata al- Insan dapat kita pahami bahwa manusia pada dasarnya memiliki potensi yang positif untuk tumbuh serta berkembang secara fisik maupun mental spiritual. Di samping itu, manusia juga dibekali dengan sejumlah potensi lain, yang berpeluang untuk mendorong ia ke arah tindakan, sikap, serta prilakun negatife dan merugikan.[4]
Kata al-Insan digunakan Al-Qur’an untuk menunjukan totalitas manusia sebagai makhluk jasmani dan rohani. Harmonisasi kedua aspek tersebut dengan berbagai potensi yang di milikinya mengantarkan manusia sebagi makhluk Allah yang unik dan istimewa, sempurna, dan memiliki diferensiasi individual antara satu dengan yang lainnya,dan sebagai makhluk yang dinami, sehingga mampu menyandang predikat khalifah Allah di muka bumi.
Perpaaduan antara aspek pisik dan pisikis telah membantu manusia untuk mengekspresikan dimensi al-insan al-bayan, yaitu sebagai makhluk berbudaya yang mampu berbicara, mengetahui baik dan buruk, mengemabngkan ilmu pengetahuan dan peradaban, dan lain sebagainya.
c.       Konsep an-Nas
Kata an-Nas dinyatakan dalam Al-Qur’an sebanyak 240 kali dan tersebar dalam 53 surat. Kosa kata An- Nas dalam Al- Qur’an umumnya dihubungkan dengan fungsi manusia sebagai makhluk social. Manusia diciptakan sebagai makhluk bermasyarakat, yang berawal dari pasangan laki-laki dan wanita kemudian berkembang menjadi suku dan bangsa untuk saling kenal mengenal “berinterksi” (QS. 49 : 13). Hal ini sejalan dengan teori “strukturalisme” Giddens yang mengatakan bahwa manusia merupakan individu yang mempunyai karakter serta prinsip berbeda antara yang lainnya tetapi manusia juga merupakan agen social yang bisa mempengaruhi atau bahkan di bentuk oleh masyarakat dan kebudayaan di mana ia berada dalam konteks sosial.[5]
d.      Konsep Bani Adam
Manusia sebagai Bani Adam, termaktub di tujuh tempat dalam Al-Qur’an (Muhammad Fuad Abd al- Baqi:1989). Menurut al-Gharib al-Ishfahany, bani berarti keturunan dari darah daging yang dilahirkan. Berkaitan dengan penciptaan manusia menurut Christyono Sunaryo, bahwa bumi dan dunia ini telah diciptakan Allah SWT jutaan tahun sebelum Nabi Adam AS diturunkan dibumi, 7000 thn yang lalu. Pada waktu itu Allah SWT sudah menciptakan “manusia” (somekind of humanoid) jauh sebelum Nabi Adam AS diturunkan, sebagaimana dalam surat Al-Ankabuut ayat 19 yang artinya:
“Dan apakah mereka tidak memperhatikan bagaimana Allah menciptakan (manusia) dari permulaannya, kemudian mengulanginya (kembali). Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah”. (Al-Ankabuut:19)
Ayat ini memperlihatkan bahwa kita seharusnya dapat memperhatikan adanya pengulangan kerena memang telah terjadi. Bukan pengulangan kebangkitan kembali nanti setelah hari kiamat, karena (pengulangan) kebangkitan setelah kiamat itu belum terjadi, sehingga masih sulit untuk di mengerti oleh yang tidak percaya.
Dan banyak ayat-ayat Al- Qur’an, data dan kejadian yang menunjang konsep pemikiran ini. Seperti misalnya: Pada saat manusia akan diciptakan Allah SWT untuk menjadi kalifah dibumi, bagaimana para Malaikat mungkin mengetahui bahwa manusia hanya akan membuat kerusakan diatas bumi. Sedangkan Malaikat hanya mengetahui apa-apa yang diberitahukan Allah SWT kepada mereka. Tentunya karena memang mereka pernah mengetahui adanya “manusia” dibumi sebelum Adam AS diciptakan.
Oleh sebab itu Allah SWT selalu menyatakan bahwa: “Manusia (anak-cucu Adam AS ) diciptakan dalam kesempurnaan-nya”. Dalam Injil dikatakan bahwa “Man was created upon the image of God). Serta banyak kalimat pada Taurat (Perjanjian Lama) yang membedakan antara “anak manusia” dan “anak Allah”, “adanya manusia-manusia yang besar pada saat itu”, bagaimana takutnya anak-anak Adam yang keluar dari surga dengan adanya ancaman/gangguan diluar.
Adapun yang dikatakan dalam kitab-kitab suci, ilmu pengetahuan ataupun teknologi dapat membuktikan bahwa ada sisa-sisa “manusia” yang telah berumur jutaan tahun. Bahkan teori Darwin-pun mengalami kesulitan dalam menghubungkan manusia purba dengan manusia masa kini (The missing-linktheorema). Dalam konsep ini dapat ditarik beberapa kesimpulan bahwa: “Jelaslah dengan penjelasan di atas bahwa Adam AS bukanlah merupakan hasil evolusi ataupun “keturunan monyet”, seperti dikatakan Darwin.
2.2 Proses Penciptaannya Manusia Dalam Al-Qur’an
Dan dilihat dari proses penciptaannya, Al-Qur’an menyatakan peroses penciptaan manusia dalam dua tahapan yang berbeda, yaitu: pertama, disebut dengan tahapan primordial. Kedua, disebut dengan tahapan biologi. Manusia pertama, Adam AS , diciptakan dari at-tin (tanah), at-turob (tanah debu), min shal (tanah liat), min hamain masnun (tanah lumpur hitam yang busuk) yang dibentuk Allah dengan seindah-indahnya, kemudian Allah meniupkan ruh dari-Nya kedalam diri (manusia) tersebut (Q.S, Al-Anam/6:2, Al-Hijr/15:26,28,29, Al-Mu’minun/23:12, Ar-Ruum/30:20, Ar-Rahman/ 55:4).[6]
Penciptaan manusia selanjutnya adalah peruses biologi yang dapat dipahami secara sains-empirik. Di dalam peruses ini, manusia diciptakan dari inti sari tanah yang dijadikan air mani (nuthfah) yang disimpan di tempat yang kokoh (rahim). kemudian air mani di jadikan darah beku (‘alaqah) yang menggantung dalam rahim. Darah beku tersebut kemudian dijadikan-Nya segumapal daging (mudghah) dan kemudian di balut dengan tulang belulang lalu kepadanya ditiupkan ruh. (Q.S, Al Mu’minun/23:12-24). Hadist yang diriwayatkan Bukhori dan Muslim menyatakan bahwa ruh di hembuskan Allah SWT ke dalam janin setelah ia mengalami perkembangan 40 hari nuthfah, 40 hari alaqah daan 40 hari mudghah.
            Al-Ghazali mengungkapkan proses penciptaan manusia dalam teori pembentukan (taswiyah) sebagai suatu proses yang timbul di dalam materi yang membuatnya cocok untuk menerima ruh. Materi itu merupakan sari pati tanah liat nabi Adam AS yang merupakan cikal bakal bagi keturunannya. Cikal bakal atau sel benih (nuthfah) ini yang semula adalah tanah liat setelah melewati berbagai proses akhirnya menjadi bentuk lain (khalq akhar) yaitu manusia dalam bentuk yang sempurna.
Tanah liat menjadi makanan (melalui tanaman dan hewan), makanan menjadi darah, kemudian menjadi sperma jantan dan indung telur. Kedua unsure ini bersatu dalam satu wadah yaitu rahim dengan transformasi panjang yang akhirnya menjadi tubuh harmonis (jibillah) yang cocok untuk menerima ruh. Sampai disini prosesnya murni bersifat materi sebagai warisan dari leluhurnya. Kemudian setriap manusia menerima ruhnya langsung dari Allah disaat embiro sudah siap dan cocok menerimanya. Maka dari pertemuan ruh dan badan, terbentuklah makhluk baru manusia.[7]
2.3 Kedudukan Manusia
            Kesatuan wujud manusia antara pisik dan pisikis serta didukung oleh potensi-potensi yang ada membuktikan bahwa manusia sebagai ahsan at-taqwin dan merupakan manusia pada posisi yang strategis yaitu: Hamba Allah (‘abd Allah) dan Khalifah Allah (khalifah fi al-ardh).
1.      Manusia Sebagai Hamba Allah (‘abd Allah)
Musa Asy’arie mengatakan bahwa esensi hamba adalah ketaatan, ketundukan dan kepatuhan yang kesemuanya itu hanya layak di berikan kepada Tuhan. Ketundukan dan ketaatan pada kodrat alamiah senantiasa berlaku baginya. Ia terikat oleh hokum-hukum Tuhan yang menjadi kodrat pada setiap ciptaannya, manusia menjadi bagian dari setiap ciptaannya, dan ia bergantung pada sesamanya. Sebagai hamba Allah, manusia tidak bisa terlepas dan kekuasaannya. Sebab, manusia mempunyai fitrah (potensi) untuk beragama.
Hal ini disebabkan karena manusia adalah makhluk yang memiliki potensi untuk beragama sesuai dengan fitrahnya. Dan manusia dulu telah mengakui bahwa diluar dirinya ada zat yang lebih berkuasa dan mengusa seluruh kehidupannya. Namun mereka tidak mengetahui hakikat zat yang berkuasa. Mereka aplikasikan apa yang mereka yakini dengan berbagai bentuk ucapan ritual seperti pemujaan terhadap batu besar, gunung, matahari, dan roh nenek moyang mereka. Kesemuanya dalah bukti bahwa manusia memiliki potensi untuk beragama, Allah berfirman:
Artinya: maka hadapkanlah wajahmu kepada agama (Allah), tetaplah pada fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah (agama) itu tidak ada perubahan pada fitrah Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (QS. 30:30)
            Berdasarkan ayat diatas, tentulah bahwa bagaimanapun moderennya atau primitifnya suatu suku bangsa manusia, mereka akan mengakui adanya zat Yang Maha Kuasa di luar dirinya, selanjutnya Allah SWT berfirman:
Artinya: dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku (QS.51:56)
            Bardasarkan Ayat tersebut terlihat bahwa seluruh tugas manusia dalam hidup ini berakumulasi pada tanggung jawab mengabdi (beribadah) kepada-Nya.
2.      Manusia Sebagai Khalifah Allah fi al-Ardh
Bial ditijau, kata khalifah berasal dari fi’il madhi khalafa, yang berarti “mengganti dan melanjutkan”. Bila pengertian tersebut ditarik pada pengertian khalifah, maka dalam konteks ini artinyalebih cenderung kepada pengertian mengganti yaitu proses penggantian antara satu individu dengan individu yang lain.
Menurut Quraish Shihab, istilah khalifah dalam bentuk mufrad (tunggal) berarti pengusaan politik dan religius. Istilah inji digunakan nabi-nabi dan tidak digunakan untuk manusia pada umumnya. Sedangkan manusia bisa digunakan khala’if yang didalamnya mengandung makna yang lebih luas, yaitu bukan hanya sebagai penguasa dalam berbagai bidang kehidupan. Dalam hubungan pembicaraan dengan kedudukan manusia di alam ini, nampaknya istilah khala cocok digunakan dibanding kata khalifah. Namun demikian yang terjadi dalam penggunaan sehari-hari adalah bahwa manusia sebagi khalifah di muka bumi. Dan sebagi seorang khalifah manusia berfungsi mengantikan orang lain dan menempati tempat serta kedudukan-Nya. Ia menggantikan kedudkan orang lain dalam aspek kepemimpinan atau kekuasaan. Dan Quraisy Shihab pun menyimpulkan bahwa kata khalifah itu mencakup dua pengertian:
1.      Orang yang di beri kekuasaan untuk mengelola wilayah, baik luas maupun terbatas.
2.      Khalifah memilki potensi untuk mengemban tugasnya, namun juga dapat berbuat kesalahan dan kekeliruan.
2.4  Manusia dan Proses Pendidikan
Paulo freire, tokoh pendidikan Amerika Latin mengatakan bahwa tujuan akhir dari proses pendidikan adalah memanusiakan manusia (humanisasi), tidak jauh berbeda dengan pandangan diatas M. Arifin berpendapat, bahwa proses pendidikan pada akhirnya berlangsung pada titik kemampuan berkembangnya tiga hal yaitu mencerdaskan otak yang ada dalam kepala (head) kedua, mendidik akhlak atau moralitas yang berkembang dalam hati (heart) dan ketiga, adalah mendidik kecakapan/ketrampilan yang pada prinsipnya terletak pada kemampuan tangan (hand) selanjutnya populer dengan istilah 3 H’s.[8]
Berangkat dari arti pentingnya pendidikan ini, Karnadi Hasan memandang bahwa pendidikan bagi masyarakat dipandang sebagai “Human investment” yang berarti secara historis dan filosofis, pendidikan telah ikut mewarnai dan menjadi landasan moral dan etik dalam proses humanisasi dan pemberdayaan jati diri bangsa.
Merujuk dari pemikiran tersebut, Pendidikan adalah rajat hidup bagi setiap manusia. Karena kita sadari bahwa tidak ada seorangpun yang lahir di dunia ini dalam keadaan pandai (berilmu). Hal ini membuktikan bahwa segala sesuatu di dunia ini merupakan proses berkelanjutan yang tidak asal jadi seperti bayangan dan impian kita. Berkaitan adanya proses tersebut, penciptaan manusia oleh Allah SWT juga tidaklah sekali jadi.
Ada proses penciptaan (khalq), proses penyempurnaan (taswiyyah), dengan cara memberikan ukuran atau hukum tertentu (taqdir), dan juga di berikannya petunjuk (hidayah).[9] Dengan demikian menurut Sunnatullah manusia sangat terbuka kemungkinannya untuk mengembangkan segala potensi yang dia miliki melalui bimbingan dan tuntunan yang tearah, teratur serta berkesinambungan yang semuanya merupakan proses dalam rangka penyempurnaan manusia (insan kamil) yang nantinya dapat memenuhi tugas dari kejadiannya yaitu sebagai Khalifah Fil Ardl.
2.5  Manusia Menurut Filsafat Pendidikan Islam
Pemikiran filsafat mencakup ruang lingkup yang berskala makro yaitu: kosmologi, ontology, philosophy of mind, epistimologi, dan aksiologi. Untuk melihat bagaimana sesungguhnya manusia dalam pandangan filsafat pendidikan, maka setidaknya karena manusia merupakan bagian dari alam semesta (kosmos). Berangkat dari situ dapat kita ketahui bahwa manusia adalah ciptaan Allah yang pada hakekatnya sebagai abdi penciptanya (ontology). Agar bisa menempatkan dirinya sebagai pengapdi yang setia, maka manusia diberi anugerah berbagai potensi baik jasmani, rohani, dan ruh (philosophy of mind).
Sedangkan pertumbuhan serta perkembangan manusia dalam hal memperoleh pengetahuan itu berjalan secara berjenjang dan bertahap (proses) melalui pengembangan potensinya, pengalaman dengan lingkungan serta bimbingan, didikan dari Tuhan (epistimologi), oleh karena itu hubungan antara alam lingkungan, manusia, semua makhluk ciptaan Allah dan hubungan dengan Allah sebagai pencita seluruh alam raya itu harus berjalan bersama dan tidak bisa dipisahkan.
Adapun manusia sebagai makhluk dalam usaha meningkatkan kualitas sumber daya insaninya itu, manusia diikat oleh nilai-nilai illahi (aksiologi), sehingga dalam pandangan Filsafat Pendidkan Islam, manusia merupakan makhluk alternatif (dapat memilih), tetapi ditawarkan padanya pilihan yang terbaik yakni nilai illahiyat. Dari sini dapat kita simpulkan bahwa manusia itu makhluk alternatif (bebas) tetapi sekaligus terikat (tidak bebas nilai).
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Manusia menurut Islam adalah makhluk ciptaan Allah (QS. 98: 2) dengan kedudukan yang melebihi makhluk ciptaan Allah lainnya (QS. 95 : 4). Selain itu manusia sudah dilengkapi dengan berbagai potensi yang dapat dikembangkan antara lain berupa fitrah ketauhidan (QS.15 :29). Dengan fitrah ini diharapkan manusia dapat hidup sesuai dengan hakekat penciptaannya, yaitu mengabdi kepada Allah SWT (QS. 51: 56).
Mengacu pada ketentuan ini, maka dalam pandangan Islam, menurut Jalaludin, manusia pada hakekatnya merupakan makhluk ciptaan Allah yang terikat dengan “Blue prient” (cetak biru) dalam lakon hidupnya, yaitu menyadari akan dirinya sebagai “Abdul Allah” sekaligus mempunyai tugas sebagai khalifah Allah.
Dan manusia memiliki potensi lain yaitu akal untuk mengetahui mana yang baik dan buruk karena akal manusia digunakan untuk berfikir atau mencari ilmu-ilmu Allah yang secara luas tersebar di muka bumi ini. Oleh karena itu, manusia wajib mencari pendidikan untuk kelangsuangan hidup di bumi dan di akhirat kelak.
3.2 Saran
            Sebagi manusia hendaknya kita melakukan sesuai apa-apa yang di perintahkan oleh Allah SWT dan menjauhi yang dilarang. Karena kita diciptakan sempurna dari pada makhluk Allah yang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Noor Syam, Mohammad, 1986, Filsafat Pendidikan dan Dasar Filasafat Pendidikan Pancasila, Usaha Nasional: Surabaya
Ismai Raji’ Al-Faruqi, 1984, Islam dan Kebudayaan, Mizan: Bandung
Ramayulis, dan Samsul Nizar, 2009, Filsafat pendidikan Islam, kalam mulia: Jakarta Pusat
Jalaludin, 2001, Teologi Pendidikan, PT Raja Grafindo Persada: Jakarta
Brian Fay, 2002, Filsafat Ilmu Sosial Kontemporer, Jendela: Yogyakarta
Abdurrahman An-Nahlawi, 1992, Prinsip-Prinsip dan Metode pendidikan Islam, CV. Diponogoro, Bandung
H.M. Arifin, 2000, Filsafat Pendidikan Islam, Remaja Rosdakarya, PT Bumi Aksara: Jakarta
Karnadi Hasan “Konsep Pedidikan Jawa”, dalam : Jurnal Dinamika islam dan Budaya Jawa, No 3 tahun 2000, Pusat Pengkajian Islam Strategis, IAIN Walisongo, 2000


[1] Noor Syam, Mohammad, Filsafat Pendidikan dan Dasar Filasafat Pendidikan Pancasila, Usaha Nasional, Surabaya,1986, hal. 153
[2] Ismai Raji’ Al-Faruqi, Islam dan Kebudayaan, Mizan, Bandung, 1984, hal. 37
[3] Prof. DR. H. Ramayulis, DR. Samsul Nizar, MA, Filsafat pendidikan Islam, kalam mulia, Jakarta Pusat,  2009, hal. 48
[4] Prof. Dr. H. Jalaludin, Teologi Pendidikan, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001, hal 21
[5] Brian Fay, Filsafat Ilmu Sosial Kontemporer, Jendela, Yogyakarta, Cet. I, 2002, hal. 69
[6] Abdurrahman An-Nahlawi, Prinsip-Prinsip dan Metode pendidikan Islam, CV. Diponogoro, Bandung, 1992, hal. 31
[7] Ali Isa Othman, Manusia menurut Al-Ghazali, Pustaka, Bandung, 1985, hal. 15-16
[8] Prof. H.M. Arifin, M. Ed, Filsafat Pendidikan Islam, Remaja Rosdakarya, PT Bumi Aksara, Jakarta, Cet. VI,  2000, hal. 57.
[9] Karnadi Hasan “Konsep Pedidikan Jawa”, dalam : Jurnal Dinamika islam dan Budaya Jawa, No 3 tahun 2000, Pusat Pengkajian Islam Strategis, IAIN Walisongo, 2000,  hal. 29.