Makalah Tentang Penyakit Alzheimer
A.
INSIDENSI
ALZHEIMER
Penyakit alzheimer merupakan
penyakit neurodegeneratif yang secara epidemiologi terbagi 2 kelompok yaitu
kelompok yang menderita pada usia kurang 58 tahun disebut sebagai early onset
sedangkan kelompok yang menderita pada usia lebih dari 58 tahun disebut sebagai
late onset. Penyakit alzheimer dapat timbul pada semua umur, 96% kasus dijumpai
setelah berusia 40 tahun keatas. Schoenburg dan Coleangus (1987) melaporkan
insidensi berdasarkan umur: 4,4/1000.000 pada usia 30-50 tahun, 95,8/100.000
pada usia > 80 tahun. Angka prevalensi penyakit ini per 100.000 populasi
sekitar 300 pada kelompok usia 60-69 tahun, 3200 pada kelompok usia 70-79
tahun, dan 10.800 pada usia 80 tahun. Diperkirakan pada tahun 2000 terdapat 2
juta penduduk penderita penyakit alzheimer. Sedangkan di Indonesia diperkirakan
jumlah usia lanjut berkisar, 18,5 juta orang dengan angka insidensi dan
prevalensi penyakit alzheimer belum diketahui dengan pasti.
Berdasarkan jenis kelamin,
prevalensi wanita lebih banyak tiga kali dibandingkan laki-laki. Hal ini
mungkin refleksi dari usia harapan hidup wanita lebih lama dibandingkan
laki-laki. Dari beberapa penelitian tidak ada perbedaan terhadap jenis kelamin.
B.
ETIOLOGI
ALZHEIMER
Penyebab yang pasti belum diketahui.
Beberapa alternatif penyebab yang telah dihipotesa adalah intoksikasi logam,
gangguan fungsi imunitas, infeksi virus, polusi udara/industri, trauma,
neurotransmiter, defisit formasi sel-sel filament, presdiposisi heriditer.
Dasar kelainan patologi penyakit alzheimer terdiri dari degenerasi neuronal,
kematian daerah spesifik jaringan otak yang mengakibatkan gangguan fungsi
kognitif dengan penurunan daya ingat secara progresif.
Adanya defisiensi faktor pertumbuhan
atau asam amino dapat berperan dalam kematian selektif neuron. Kemungkinan
sel-sel tersebut mengalami degenerasi yang diakibatkan oleh adanya peningkatan
calsium intraseluler, kegagalan metabolisme energi, adanya formasi radikal
bebas atau terdapatnya produksi protein abnormal yang non spesifik.
Penyakit alzheimer adalah penyakit
genetika, tetapi beberapa penelitian telah membuktikan bahwa peran faktor
genetika, tetapi beberapa penelitian telah membuktikan bahwa peran faktor
non-genetika (lingkungan) juga ikut terlibat, dimana faktor lingkungan hanya
sebagai pencetus faktor genetika.
C.
FAKTOR
PENYEBAB ALZHEIMER
1.
Faktor
genetik
Beberapa peneliti mengungkapkan 50% prevalensi kasus
alzheimer ini diturunkan melalui gen autosomal dominant. Individu keturunan
garis pertama pada keluarga penderita alzheimer mempunyai resiko menderita
demensia 6 kali lebih besar dibandingkan kelompok kontrol normal Pemeriksaan
genetika DNA pada penderita alzheimer dengan familial early onset terdapat
kelainan lokus pada kromosom 21 diregio proximal log arm, sedangkan pada
familial late onset didapatkan kelainan lokus pada kromosom 19. Begitu pula
pada penderita down syndrome mempunyai kelainan gen kromosom 21, setelah
berumur 40 tahun terdapat neurofibrillary tangles (NFT), senile plaque dan penurunan
Marker kolinergik pada jaringan otaknya yang menggambarkan kelainan
histopatologi pada penderita alzheimer.
Hasil penelitian penyakit alzheimer terhadap anak kembar
menunjukkan 40-50% adalah monozygote dan 50% adalah dizygote. Keadaan ini
mendukung bahwa faktor genetik berperan dalam penyaki alzheimer. Pada sporadik
non familial (50-70%), beberapa penderitanya ditemukan kelainan lokus kromosom
6, keadaan ini menunjukkan bahwa kemungkinan faktor lingkungan menentukan
ekspresi genetika pada alzheimer.
2.
Faktor
infeksi
Ada hipotesa menunjukkan penyebab infeksi virus pada
keluarga penderita alzheimer yang dilakukan secara immuno blot analisis,
ternyata diketemukan adanya antibodi reaktif. Infeksi virus tersebut
menyebabkan infeksi pada susunan saraf pusat yang bersipat lambat, kronik dan
remisi. Beberapa penyakit infeksi seperti Creutzfeldt-Jacob disease dan kuru,
diduga berhubungan dengan penyakit alzheimer.
Hipotesa tersebut mempunyai beberapa persamaan antara
lain:
a. manifestasi klinik yang sama
b. Tidak adanya respon imun yang spesifik
c. Adanya plak amyloid pada susunan saraf pusat
d. Timbulnya gejala mioklonus
e. Adanya gambaran spongioform
3.
Faktor
lingkungan
Ekmann (1988), mengatakan bahwa faktor lingkungan juga
dapat berperan dalam patogenesa penyakit alzheimer. Faktor lingkungan antar
alain, aluminium, silicon, mercury, zinc. Aluminium merupakan neurotoksik
potensial pada susunan saraf pusat yang ditemukan neurofibrillary tangles (NFT)
dan senile plaque (SPINALIS). Hal tersebut diatas belum dapat dijelaskan secara
pasti, apakah keberadaan aluminum adalah penyebab degenerasi neurosal primer
atau sesuatu hal yang tumpang tindih. Pada penderita alzheimer, juga ditemukan
keadan ketidakseimbangan merkuri, nitrogen, fosfor, sodium, dengan patogenesa
yang belum jelas.
Ada dugaan bahwa asam amino glutamat akan menyebabkan
depolarisasi melalui reseptor N-methy D-aspartat sehingga kalsium akan masuk ke
intraseluler (Cairan-influks) danmenyebabkan kerusakan metabolisma energi
seluler dengan akibat kerusakan dan kematian neuron.
4.
Faktor
imunologis
Behan dan Felman (1970) melaporkan 60% pasien yang
menderita alzheimer didapatkan kelainan serum protein seperti penurunan albumin
dan peningkatan alpha protein, anti trypsin alphamarcoglobuli dan haptoglobuli.
Heyman (1984), melaporkan terdapat hubungan bermakna dan
meningkat dari penderita alzheimer dengan penderita tiroid. Tiroid Hashimoto
merupakan penyakit inflamasi kronik yang sering didapatkan pada wanita muda
karena peranan faktor immunitas.
5.
Faktor
trauma
Beberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan penyakit
alzheimer dengan trauma kepala. Hal ini dihubungkan dengan petinju yang
menderita demensia pugilistik, dimana pada otopsinya ditemukan banyak
neurofibrillary tangles.
6.
Faktor
neurotransmiter
Perubahan neurotransmitter pada jaringan otak penderita
alzheimer mempunyai peranan yang sangat penting seperti:
a.
Asetilkolin
Barties et al (1982) mengadakan penelitian terhadap
aktivitas spesifik neurotransmiter dgncara biopsi sterotaktik dan otopsi
jaringan otak pada penderita alzheimer didapatkan penurunan aktivitas
kolinasetil transferase, asetikolinesterase dan transport kolin serta penurunan
biosintesa asetilkolin. Adanya defisit presinaptik dan postsynaptik kolinergik
ini bersifat simetris pada korteks frontalis, temporallis superior, nukleus
basalis, hipokampus.
Kelainan neurottansmiter asetilkoline merupakan kelainan
yang selalu ada dibandingkan jenis neurottansmiter lainnya pada penyakit
alzheimer, dimana pada jaringan otak/biopsinya selalu didapatkan kehilangan cholinergik
Marker. Pada penelitian dengan pemberian scopolamin pada orang normal, akan
menyebabkan berkurang atau hilangnya daya ingat. Hal ini sangat mendukung
hipotesa kolinergik sebagai patogenesa penyakit alzheimer
b.
Noradrenalin
Kadar metabolisma norepinefrin dan dopimin didapatkan
menurun pada jaringan otak penderita alzheimer. Hilangnya neuron bagian dorsal
lokus seruleus yang merupakan tempat yang utama noradrenalin pada korteks
serebri, berkorelasi dengan defisit kortikal noradrenergik.
Bowen et al(1988), melaporkan hasil biopsi dan otopsi
jaringan otak penderita alzheimer menunjukkan adanya defisit noradrenalin pada
presinaptik neokorteks. Palmer et al(1987), Reinikanen (1988), melaporkan
konsentrasi noradrenalin menurun baik pada post dan ante-mortem penderita
alzheimer.
c.
Dopamin
Sparks et al (1988), melakukan pengukuran terhadap
aktivitas neurottansmiter regio hipothalamus, dimana tidak adanya gangguan
perubahan aktivitas dopamin pada penderita alzheimer. Hasil ini masih
kontroversial, kemungkinan disebabkan karena potongan histopatologi regio
hipothalamus setia penelitian berbeda-beda.
d.
Serotonin
Didapatkan penurunan kadar serotonin dan hasil
metabolisme 5 hidroxi-indolacetil acid pada biopsi korteks serebri penderita
alzheimer. Penurunan juga didapatkan pada nukleus basalis dari meynert.
Penurunan serotonin pada subregio hipotalamus sangat bervariasi, pengurangan
maksimal pada anterior hipotalamus sedangkan pada posterior peraventrikuler
hipotalamus berkurang sangat minimal. Perubahan kortikal serotonergik ini
berhubungan dengan hilangnya neuron-neuron dan diisi oleh formasi NFT pada
nukleus rephe dorsalis
e.
MAO
(Monoamine Oksidase)
Enzim mitokondria MAO akan mengoksidasi transmitter mono
amine. Aktivitas normal MAO terbagi 2 kelompok yaitu MAO A untuk deaminasi
serotonin, norepineprin dan sebagian kecil dopamin, sedangkan MAO B untuk
deaminasi terutama dopamin. Pada penderita alzheimer, didapatkan peningkatan
MAO A pada hipothalamus dan frontais sedangkan MAO B meningkat pada daerah
temporal danmenurun pada nukleus basalis dari meynert.
D.
GEJALA
ALZHEIMER
Perubahan mental penderita alzheimer
terjadi sangat perlahan-lahan, sehingga pasien dan keluarganya tidak mengetahui
secara pasti kapan penyakit ini mulai muncul. Terdapat beberapa stadium
perkembangan penyakit alzheimer yaitu :
Stadium I (lama penyakit 1-3 tahun)
o Memory : new learning defective, remote recall mildly
impaired
o Visuospatial skills : topographic disorientation, poor
complex contructions
o Language : poor woordlist generation, anomia
o Personality : indifference,occasional irritability
o Psychiatry feature : sadness, or delution in some
o Motor system : normal
o EEG : normal
o CT/MRI : normal
o PET/SPECT : bilateral posterior
hypometabolism/hyperfusion
Stadium II (lama penyakit 3-10 tahun)
o Memory : recent and remote recall more severely
impaired
o Visuospatial skills : spatial disorientation, poor
contructions
o Language : fluent aphasia
o Calculation : acalculation
o Personality : indifference, irritability
o Psychiatry feature : delution in some
o Motor system : restlessness, pacing
o EEG : slow background rhythm
o CT/MRI : normal or ventricular and sulcal enlargeent
o PET/SPECT : bilateral parietal and frontal hypometabolism/hyperfusion
Stadium III (lama penyakit 8-12 tahun)
o Intelectual function : severely deteriorated
o Motor system : limb rigidity and flexion poeture
o Sphincter control : urinary and fecal
o EEG : diffusely slow
o CT/MRI : ventricular and sulcal enlargeent
o PET/SPECT : bilateral parietal and frontal hypometabolism/hyperfusion
E.
KRITERIA
DIAGNOSA
Terdapat beberapa kriteria untuk
diagnosa klinis penyakit alzheimer yaitu:
1.
Kriteria
diagnosis tersangka penyakit alzheimer terdiri dari:
·
Demensia
ditegakkan dengan pemeriksaan klinik dan pemeriksaan status mini mental atau
beberapa pemeriksaan serupa, serta dikonfirmasikan dengan test neuropsikologik
·
Didapatkan
gangguan defisit fungsi kognisi > 2
·
Tidak ada
gangguan tingkat kesadaran
·
Awitan
antara umur 40-90 tahun, atau sering >65 tahun
·
Tidak ada
kelainan sistematik atau penyakit otak lainnya
2.
Diagnosis
tersangka penyakit alzheimer ditunjang oleh:
·
Perburukan
progresif fungsi kognisi spesifik seperti berbahasa, ketrampilan motorik, dan
persepsi
·
ADL
terganggu dan perubahan pola tingkah laku
·
Adanya
riwayat keluarga, khususnya kalau dikonfirmasikan dengan neuropatologi
·
Pada
gambaran EEG memberikan gambaran normal atau perubahan non spesifik seperti
peningkatan aktivitas gelombang lambat
·
Pada
pemeriksaan CT Scan didapatkan atropu serebri
3.
Gambaran
lain tersangka diagnosa penyakit alzheimer setelah dikeluarkan penyebab
demensia lainnya terdiri dari:
·
Gejala
yang berhubungan dengan depresi, insomnia, inkontinentia, delusi, halusinasi,
emosi, kelainan seksual, berat badan menurun
·
Kelainan
neurologi lain pada beberapa pasien, khususnya penyakit pada stadium lanjut dan
termasuk tanda-tanda motorik seperti peningkatan tonus otot, mioklonus atau
gangguan berjalan
·
Terdapat
bangkitan pada stadium lanjut
4.
Gambaran
diagnosa tersangka penyakit alzheimer yang tidak jelas terdiri dari:
·
Awitan
mendadak
·
Diketemukan
gejala neurologik fokal seperti hemiparese, hipestesia, defisit lapang pandang
dan gangguan koordinasi
·
Terdapat
bangkitan atau gangguan berjalan pada saat awitan
5.
Diagnosa
klinik kemungkinan penyakit alzheimer adalah:
·
Sindroma
demensia, tidak ada gejala neurologik lain, gejala psikiatri atau kelainan
sistemik yang menyebabkan demensia
·
Adanya
kelainan sistemik sekunder atau kelainan otak yang menyebabkan demensia,
defisit kognisi berat secara gradual progresif yang diidentifikasi tidak ada
penyebab lainnya
6.
Kriteria
diagnosa pasti penyakit alzheimer adalah gabungan dari kriteria klinik
tersangka penyakit alzheimer dan didapatkan gambaran histopatologi dari biopsi
atau otopsi.
F.
PEMERIKSAAN
PENUNJANG
1.
Neuropatologi
Diagnosa definitif tidak dapat ditegakkan
tanpa adanya konfirmasi neuropatologi. Secara umum didapatkan atropi yang
bilateral, simetris, sering kali berat otaknya berkisar 1000 gr (850-1250gr).
Beberapa penelitian mengungkapkan
atropi lebih menonjol pada lobus temporoparietal, anterior frontal, sedangkan
korteks oksipital, korteks motorik primer, sistem somatosensorik tetap utuh
(Jerins 1937)
Kelainan-kelainan neuropatologi pada penyakit alzheimer
terdiri dari:
a.
Neurofibrillary
tangles (NFT)
Merupakan sitoplasma neuronal yang terbuat dari filamen-filamen
abnormal yang berisi protein neurofilamen, ubiquine, epitoque. NFT ini juga
terdapat pada neokorteks, hipokampus, amigdala, substansia alba, lokus
seruleus, dorsal raphe dari inti batang otak. NFT selain didapatkan pada
penyakit alzheimer, juga ditemukan pada otak manula, down syndrome, parkinson,
SSPE, sindroma ektrapiramidal, supranuklear palsy. Densitas NFT berkolerasi
dengan beratnya demensia.
b.
Senile
plaque (SP)
Merupakan struktur kompleks yang terjadi akibat
degenerasi nerve ending yang berisi filamen-filamen abnormal, serat amiloid
ektraseluler, astrosit, mikroglia. Amloid prekusor protein yang terdapat pada
SP sangat berhubungan dengan kromosom 21. Senile plaque ini terutama terdapat pada
neokorteks, amygdala, hipokampus, korteks piriformis, dan sedikit didapatkan
pada korteks motorik primer, korteks somatosensorik, korteks visual, dan
auditorik. Senile plaque ini juga terdapat pada jaringan perifer. Perry (1987)
mengatakan densitas Senile plaque berhubungan dengan penurunan kolinergik.
Kedua gambaran histopatologi (NFT dan senile plaque)
merupakan gambaran karakteristik untuk penderita penyakit alzheimer.
c.
Degenerasi
neuron
Pada pemeriksaan mikroskopik perubahan dan kematian
neuron pada penyakit alzheimer sangat selektif. Kematian neuron pada neokorteks
terutama didapatkan pada neuron piramidal lobus temporal dan frontalis. Juga
ditemukan pada hipokampus, amigdala, nukleus batang otak termasuk lokus
serulues, raphe nukleus dan substanasia nigra. Kematian sel neuron kolinergik
terutama pada nukleus basalis dari meynert, dan sel noradrenergik terutama pada
lokus seruleus serta sel serotogenik pada nukleus raphe dorsalis, nukleus
tegmentum dorsalis.
Telah ditemukan faktor pertumbuhan saraf pada neuron
kolinergik yang berdegenerasi pada lesi eksperimental binatang dan ini
merupakan harapan dalam pengobatan penyakit alzheimer.
d.
Perubahan
vakuoler
Merupakan suatu neuronal sitoplasma yang berbentuk oval
dan dapat menggeser nukleus. Jumlah vakuoler ini berhubungan secara bermakna dengan
jumlah NFT dan SP, perubahan ini sering didapatkan pada korteks temporomedial,
amygdala dan insula. Tidak pernah ditemukan pada korteks frontalis, parietal,
oksipital, hipokampus, serebelum dan batang otak.
e.
Lewy body
Merupakan bagian sitoplasma intraneuronal yang banyak
terdapat pada enterhinal, gyrus cingulate, korteks insula, dan amygdala.
Sejumlah kecil pada korteks frontalis, temporal, parietalis, oksipital. Lewy
body kortikal ini sama dengan immunoreaktivitas yang terjadi pada lewy body
batang otak pada gambaran histopatologi penyakit parkinson.
Hansen et al menyatakan lewy body merupakan variant dari
penyakit alzheimer.
2.
Pemeriksaan
neuropsikologik
Penyakit alzheimer selalu
menimbulkan gejala demensia. Fungsi pemeriksaan neuropsikologik ini untuk
menentukan ada atau tidak adanya gangguan fungsi kognitif umum danmengetahui
secara rinci pola defisit yang terjadi. Test psikologis ini juga bertujuan
untuk menilai fungsi yang ditampilkan oleh beberapa bagian otak yang
berbeda-beda seperti gangguan memori, kehilangan ekspresi, kalkulasi, perhatian
dan pengertian berbahasa. Evaluasi neuropsikologis yang sistematik mempunyai
fungsi diagnostik yang penting karena:
a.
Adanya
defisit kognisi yang berhubungan dgndemensia awal yang dapat diketahui bila
terjadi perubahan ringan yang terjadi akibat penuaan yang normal.
b.
Pemeriksaan
neuropsikologik secara komprehensif memungkinkan untuk membedakan kelainan
kognitif pada global demensia dengan defisit selektif yang diakibatkan oleh
disfungsi fokal, faktor metabolik, dan gangguan psikiatri.
c.
Mengidentifikasi
gambaran kelainan neuropsikologik yang diakibatkan oleh demensia karena
berbagai penyebab. The Consortium to establish a Registry for Alzheimer
Disease (CERALD) menyajikan suatu prosedur penilaian neuropsikologis dengan
mempergunakan alat batrey yang bermanifestasi gangguan fungsi kognitif, dimana
pemeriksaannya terdiri dari:
1. Verbal fluency animal category
2. Modified boston naming test
3. mini mental state
4. Word list memory
5. Constructional praxis
6. Word list recall
7. Word list recognition
Test ini memakan waktu 30-40 menit dan <20-30 kontrol.="kontrol." menit="menit" pada="pada" span="span">20-30>
3.
CT
Scan dan MRI
Merupakan metode non invasif yang
beresolusi tinggi untuk melihat kwantifikasi perubahan volume jaringan otak
pada penderita alzheimer antemortem. Pemeriksaan ini berperan dalam
menyingkirkan kemungkinan adanya penyebab demensia lainnya selain alzheimer
seperti multiinfark dan tumor serebri. Atropi kortikal menyeluruh danpembesaran
ventrikel keduanya merupakan gambaran marker dominan yang sangat spesifik pada
penyakit ini. Tetapi gambaran ini juga didapatkan pada demensia lainnya seperti
multiinfark, parkinson, binswanger sehingga kita sukar untuk membedakan dengan
penyakit alzheimer.
Penipisan substansia alba serebri dan pembesaran
ventrikel berkorelasi dengan beratnya gejala klinik danhasil pemeriksaan status
mini mental. Pada MRI ditemukan
peningkatan intensitas pada daerah kortikal dan periventrikuler (Capping
anterior horn pada ventrikel lateral). Capping ini merupakan predileksi untuk
demensia awal. Selain didapatkan kelainan di kortikal, gambaran atropi juga
terlihat pada daerah subkortikal seperti adanya atropi hipokampus, amigdala,
serta pembesaran sisterna basalis dan fissura sylvii.
Seab et al, menyatakan MRI lebih sensitif untuk
membedakan demensia dari penyakit alzheimer dengan penyebab lain, dengan
memperhatikan ukuran (atropi) dari hipokampus.
4.
EEG
Berguna untuk mengidentifikasi aktifitas bangkitan yang
suklinis. Sedang pada penyakit alzheimer didapatkan perubahan gelombang lambat
pada lobus frontalis yang non spesifik
5.
PET
(Positron Emission Tomography)
Pada penderita alzheimer, hasil PET ditemukan penurunan
aliran darah, metabolisma O2, dan glukosa didaerah serebral. Up take I.123
sangat menurun pada regional parietal, hasil ini sangat berkorelasi dengan
kelainan fungsi kognisi danselalu dan sesuai dengan hasil observasi penelitian neuropatologi.
6.
SPECT
(Single Photon Emission Computed Tomography)
Aktivitas I. 123 terendah pada refio parieral penderita
alzheimer. Kelainan ini berkolerasi dengan tingkat kerusakan fungsional dan
defisit kogitif. Kedua pemeriksaan ini (SPECT dan PET) tidak digunakan secara
rutin.
7.
Laboratorium
darah
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik pada
penderita alzheimer. Pemeriksaan laboratorium ini hanya untuk menyingkirkan
penyebab penyakit demensia lainnya seperti pemeriksaan darah rutin, B12,
Calsium, Posfor, BSE, fungsi renal dan hepar, tiroid, asam folat, serologi
sifilis, skreening antibody yang dilakukan secara selektif.