BAB I
PENDAHULUAN
Ketika filsafat Islam
dibicarakan, maka terbayang disana hadir beberapa tokoh
yang disebut sebagai filosof muslim seperti Al-Kindi, Ibnu Sina,
Al-Farabi, Ibnu Rusyd, Al-Ghazali,
dan seterusnya. Kehadiran para tokoh ini memang tidak bisa dihindarkan, tidak
saja karena dari merekalah kita dapat mengenal filsafat islam, akan tetapi juga
karena pada mereka benih-benih filsafat Islam dikembangkan.
Dalam makalah ini, penulis hanya
membatasi pemaparan mengenai Al-Ghazali, seorang ulama besar yang pemikirannya
sangat berpengaruh terhadap Islam dan filsafat Dunia Timur. Beliau
adalah seorang sufi sekaligus seorang teolog yang mendapat julukan Hujjah
al- Islam. Pemikiran Al-Ghazali begitu beragam dan banyak, mulai dari pikiran beliau dalam bidang teologi
(kalam), tasawuf, dan filsafat. Dalam Hal ini akan
dibahas tentang filsafat Al-Ghazali yang berkaitan dengan biografi, hasil karya,
pemikirannya dan kritik terhadap filosof Muslim lainnya.
BAB II
1.
Biografi
Al Ghozali
Beliau bernama Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin
Ahmad al-ghazali. Namanya kadang diucapkan Ghazzali (dua Z), artinya
tukang pintal benang, Karena pekerjaan ayah al-Ghazali ialah tukang pintal
benang wol. Sedangkan yang lazim ialah Ghazali (satu Z), diambil dari
kata Ghazalah nama kampung kelahirannya.[1]
Al-Ghazali lahir pada
tahun 450 H/1058 M, di desa Thus, wilayah Khurasan, Iran. Dia adalah pemikir
ulung Islam yang menyandang gelar “Pembela Islam” (hujjatul Islam). Di
masa mudanya ia belajar di Nisyapur, juga di Khurasan, yang pada waktu itu
merupakan salah satu pusat ilmu pengetahuan yang penting di dunia Islam. Ia
kemudian menjadi murid Imam al-Haramain al-Juwaini, Guru Besar di Madrasah
al-Nizamiah, Nisyapur. Diantara mata
pelajaran-mata pelajaran yang diberikan di madrasah ini ialah: Teologi, Hukum
Islam, Falsafat, Logika, Sufisme, dan Ilmu-ilmu Alam.[2]
Pada
tahun 1091 M/ 484 H, al-Ghazali diangkat menjadi ustadz (dosen) pada
Universitas Nizamiah, Baghdad. Atas prestasinya yang
kian meningkat, pada usia 34 tahun al-Ghazali diangkat menjadi pimpinan
(rektor) universitas tersebut.[3] Hanya 4 tahun al-Ghazali
menjadi rektor di Universitas Nizamiah. Setelah itu ia mulai mengalami krisis rohani, krisis
keraguan yang meliputi akidah dan semua jenis ma’rifat. Kemudian ia
meninggalkan semua jabatan dan dunianya untuk berkhalwat, ibadah dan i’tikaf
selama hampir dua tahun di sebuah masjid di Damaskus yang dilanjutkan ke Baitul
Maqdis, menunaikan ibadah haji dan berziarah ke makam Rasulullah saw. serta
nabi Ibrahim as. Akhirnya, ia terlepas dari krisis tersebut dengan jalan tasawuf.
Setelah melanglang buana kurang lebih 10
tahun, atas desakan Fakhrul Muluk. Al-Ghazali kembali untuk mengajar di
Universitas Nizamiah lagi.
Dalam
usia 55 tahun al-Ghazali meninggal dunia di Thus pada 14 Jumadil akhir 550 H,
19 Desember 1111 M dengan dihadapi oleh saudara laki-lakinya Abu ahmad
Mujjidduddin. Jenazahnya dimakamkan di sebelah timur benteng di makam Thaberran
bersisian dengan makam penyair besar Firdausi.[4]
Menurut
Musthafa Galab, Al-Ghazali telah meninggalkan tulisannya berupa buku dan
karyanya sebanyak 228 kitab yang terdiri dari berbagai macam ilmu pengetahuan
yang terkenal pada masanya. Kitab-kitab tersebut diantaranya:
a. Bidang Filsafat
- Maqashid al-Falasifat (The tendencies of the Philosophers: Tujuan Ilmu Filsafat). Berisi mengenai ringkasan ilmu-ilmu filsafat, dijelaskan juga ilmu-ilmu mantiq, metafisika dan ilmu alam.
- Tahafut al-falasifat (The distruction of the Philosophers: Kerancuan pemikiran para filosof). Berisi pertentangan (kontradiksi) yang ada dalam ajaran filsafat , serta dijelaskannya juga ketidaksesuaiannya dengan akal.
- Al-Ma’riful ‘Aqliyah (Ilmu Pengetahuan yang Rasional). Kitab ini mengungkap asal muasal ilmu-ilmu yang rasional dan kemdian hakikat apa yang dihasilkan serta ke arah mana tujuan pastinya.
b.
Bidang Agama
- Ihya’ Ulumuddin (Revival of the Relegios Sceinces: Menghidup-hidupkan Ilmu Agama).
- Al-munqiz min al-Dhalal ( Terlepas dari kesesatan).
- Minhaj ul’Abidin (the Path of the Devout: Jalan Mengabdi Tuhan).
c.
Bidang Akhlak Tasawuf
- Miezan ul ‘Amal (neraca amal).
- Kitab pendamping Ihya’ yang juga berisi akhlak dan tasawuf.
- Keimiya us Da’adah (kimianya kebahagiaan). Berisi masalah etika yang dibicarakan dari sudut pandang kepraktisannya dan hukum.
- Kitab ul Arba’ien (empat puluh prinsip agama). Berisi tentang soal-soal yang berhubungan dengan akhlak tasawuf.
- At-Tibrul Masbuk fi nashiehat el muluk(emas yang sudah ditatah untuk menasehati para penguasa). Berisi tata karma yang berhubungan dengan pemerintahan.
- Al-Mustashfa fil ushul (keterangan yang sudaah dipilih mengenai soal pokok-pokok ilmu hukum).
- Mishkat ul Anwar (lampu yang bersinar banyak). Berisi tentang kaitan akhlak dengan ilmu aqidah dan teologi.
- Ayyuhal Walad (wahai anakku !). Berisi nasehat kepada penguasa yang berhubungan dengan amal perbuatan dan tingkah polah mereka dalam kehidupan sehari-hari.
- Al-adab fi Dien(adab sopan keagamaan). Berisi perilaku manusia di dalam hubungannya dengan etika hidup manusia
- Ar-Risalah al-Laduniyah (risalah tentang soal-soal batin). Berisi hubungan akhlak dengan masalah-masalah kerohanian termasuk didalamnya soal wahyu, kata hati dan sebagainya.
d.
Bidang Kenegaraan
1)
Mustazh hiri.
2)
Sir ul Alamain (rahasia
dua dunia yang berbeda).
3)
Suluk us Sulthanah (cara
menjalankan pemerintahan). Buku ini memberi tahu pimpinan bagaimana seorang kepala Negara
harus menjalankan pemerintahannya demi kesejahteraan rakyatnya.
e.
Bidang Fiqh dan Ushul Fiqh
1)
Asrar al-Hajj, dalam Fiqh
al-Syafi’I, terbit di Mesir.
2)
Al-Mustasfa fi Ilmi
al-Ushul, terbit berulang kali di Kairo.
1.
Metafisika
Untuk pertama kalinya
Al-Ghazali mempelajari karangan-karangan ahli filsafat terutama karangan Ibnu
Sina. Setelah mempelajari filsafat dengan seksama, ia mengambil kesimpulan
bahwa mempergunakan akal semata-mata dalam soal ketuhanan adalah seperti
mempergunakan alat yang tidak mencukupi kebutuhan.
Al-Ghazali dalam bukunya (Al-Munqidz
min al-Dhalal) menjelaskan: “Jika berbicara mengenai ketuhanan
(metafisika), maka disinilah terdapat sebagian besar kesalahan mereka (para
filosof) karena tidak dapat mengemukakan bukti-bukti menurut syarat-syarat yang
telah mereka tetapkan sendiri dalam ilmu logika.”
Al-Ghazali meneliti kerja
para filsuf dengan metodenya yang rasional, yang mengandalkan akal untuk
memperoleh pengetahuan yang meyakinkan. Dia pun menekuni bidang filsafat secara
otodidak sampai menghasilkan beberapa karya yang mengangkatnya sebagai filsuf.
Tetapi hasil kajian ini mengantarkannya kepada kesimpulan bahwa metode rasional
para filsuf tidak bisa dipercaya untuk memberikan suatu pengetahuan yang
meyakinkan tentang hakikat sesuatu di bidang metafisika (ilahiyyat) dan
sebagian dari bidang fisika (thabi’iyat) yang berkenaan dengan akidah
Islam. Meskipun demikian, Al-Ghazali tetap memberikan kepercayaan terhadap
kesahihan filsafat-filsafat di bidang lain, seperti logika dan matematika.
Sebagaimana yang telah
dijelaskan di atas, bahwa ada pemikiran tentang filsafat metafisika yang
menurut al-Ghazali sangat berlawanan dengan Islam, dan karenanya para filosof
dinyatakan kafir. Hal ini akan lebih dijelaskan dalam bagian selanjutnya.
Mengenai kejadian alam dan
dunia, Al-Ghazali berpendapat bahwa dunia itu berasal dari iradat (kehendak)
tuhan semat-mata, tidak bisa terjadi dengan sendirinya. Iradat tuhan itulah
yang diartikan penciptaan. Iradat itu menghasilkan ciptaan yang berganda, di
satu pihak merupakan undang-undang, dan di lain pihak merupakan zarah-zarah
(atom-atom) yang masih abstrak. Penyesuaian antara zarah-zarah yang abstrak
dengan undang-undang itulah yang merupakan dunia dan kebiasaanya yang kita
lihat ini.
Iradat tuhan adalah mutlak, bebas dari ikatan waktu dan
ruang, tetapi dunia yang diciptakan itu seperti yang dapat ditangkap dan
dikesankan pada akal (intelek) manusia, terbatas dalam pengertian ruang dan
waktu. Al-Ghazali menganggap bahwa tuhan adalah transenden, tetapi kemauan
iradatnya imanen di atas dunia ini, dan merupakan sebab hakiki dari segala
kejadian.[7]
Pengikut Aristoteles, menamakan suatu peristiwa sebagai
hukum pasti sebab dan akibat (hukum kausalitas), sedangkan Al-Ghazali seperti
juga Al-Asy’ari berpendapat bahwa suatu peristiwa itu adalah iradat Tuhan, dan
Tuhan tetap bekuasa mutlak untuk menyimpangkan dari kebiasaan-kebiasaan sebab
dan akibat tersebut. Sebagai contoh, kertas tidak mesti terbakar oleh api, air
tidak mesti membasahi kain. Semua ini hanya merupakan adat (kebiasaan) alam,
bukan suatu kemestian. Terjadinya segala sesuatu di dunia ini karena kekuasaan
dan kehendak Allah semata. Begitu juga dengan kasus tidak terbakarnya Nabi
Ibrahim ketika dibakar dengan api. Mereka menganggap hal itu tidak mungkin,
kecuali dengan menghilangkan sifat membakar dari api ituatau mengubah diri
(zat) Nabi Ibrahim menjadi suatu materi yang tidak bisa terbakar oleh api.[8]
Mengenai filsafat etika
Al-Ghazali secara sekaligus dapat kita lihat pada teori tasawufnya dalam buku Ihya’
‘Ulumuddin. Dengan kata lain, filsafat etika Al-Ghazali adalah teori
tasawufnya itu. Mengenai tujuan pokok dari etika Al-Ghazali kita temui pada
semboyan tasawuf yang terkenal “Al-Takhalluq Bi Akhlaqihi ‘Ala Thaqah
al-Basyariyah, atau Al-Ishaf Bi Shifat al-Rahman ‘Ala Thaqah al-Basyariyah”.
Maksudnya adalah agar manusia sejauh kesanggupannya meniru perangai dan
sifat-sifat ketuhanan seperti pengasih, pemaaf, dan sifat-sifat yang disukai
Tuhan, jujur, sabar, ikhlas dan sebagainya.
Sesuai dengan prinsip
Islam, Al-Ghazali menganggap Tuhan sebagai pencipta yang aktif berkuasa, yang
sangat memelihara dan menyebarkan rahmat (kebaikan) bagi sekalian alam. Berbeda
dengan prinsip filsafat klasik Yunani yang menganggap bahwa Tuhan sebagai
kebaikan yang tertinggi, tetapi pasif menanti, hanya menunggu pendekatan diri
dari manusia, dan menganggap materi sebagai pangkal keburukan sama sekali.
Al-Ghazali sesuai dengan
prinsip Islam, mengakui bahwa kebaikan tersebar di mana-mana, juga dalam
materi. Hanya pemakaiannya yang disederhanakan, yaitu kurangi nafsu dan jangan
berlebihan.
Bagi Al-Ghazali, taswuf
bukanlah suatu hal yang berdiri sendiri terpisah dari syari’at, hal ini nampak
dalam isi ajaran yang termuat dalam kitab Ihya’nya yang merupakan
perpaduan harmonis antara fiqh, tasawuf dan ilmu kalam yang berarti kewajiban
agama haruslah dilaksanakan guna mencapai tingkat kesempurnaan. Dalam
melaksanakan haruslah dengan penuh rasa yakin dan pengertian tentang
makna-makna yang terkandung di dalamnya.[9]
Di bidang filsafat al-Ghazali
memiliki perhatian yang sangat besar dan ia
tercatat sebagai pemikir yang banyak melibatkan diri pada segi itu. Ia belajar
filsafat kepada al-Juwaini selama tiga tahun. Sehingga al-Ghazali dianggap juga
sebagai salah seorang filosof muslim.[10] Namun,
dalam lapangan filsafat ketuhanan (metafisika) al-Ghazali memandang para
filosof sebagai ahl al-bid’at dan kafir seperti apa yang ada dalam
bukunya Tahafut al-Falasifat (kerancuan pemikiran para filosof).
Al-Ghazali menyalahkan filosof-filosof dalam 20 masalah, 3 yang dianggap
penting dan kafir oleh Al Ghozali yaitu:
Persoalan ini mendapatkan porsi pembahasan paling besar dalam kitab Tahafut al-Falasifah, hampir seperempat dari kitab tersebut membahas persoalan keqadiman alam.[11]
Menurut Al Ghozali: “Qadim mengandung arti tidak bermula, tidak pernah tidak ada pada masa lampau dan oleh karena itu dia membawa pada pengertian tidak diciptakan.” Al Ghozali (Tahafut al-Falasifah,1962: 86).
Dengan demikian dapat dipahami hanya Tuhan yang qadim.
Namun para filosof berpendapat bahwa alam ini qadim. Artinya wujud alam bersamaan dengan wujud Allah. Keterdahuluan Allah dari alam hanya dari segi zat (taqaddum zaty) dan tidak dari segi zaman (taqaddum zamany), seperti keterdahuluan sebab dari akibat seperti cahaya dari matahari. Jika dirunut pemikiran filosof lebih rumit di mengerti daripada pemikiran al-Ghazali.[12]
Para
filosof muslim, menurut al-Ghazali berpendapat bahwa Allah hanya mengetahui
zat-Nya dan tidak mengetahui selain-Nya (juz’iyyat). Ibnu Sina mengatakan bahwa Allah mengetahui segala sesuatu dengan
ilmu-Nya yang kulli. Alasan para filosof muslim, Allah
tidak mengetahui yang juz’iyyat, bahwa di alam ini selalu terjadi
perubahan-perubahan, jika Allah mengetahui rincian perubahan tersebut, hal itu
akan membawa perubahan kepada zat-Nya. Perubahan pada objek ilmu akan membawa
perubahan pada yang punya ilmu (bertambah atau berkurang). Ini mustahil terjadi
pada Allah.[13]
Menurut al-Ghazali, pendapat para filosof itu merupakan kesalahan fatal. Menurut al-Ghazali lebih lanjut, perubahan pada objek ilmu tidak membawa perubahan pada ilmu. Karena ilmu merupakan idhafah (suatu rangkaian yang berhubungan dengan zat). Jika ilmu berubah tidak membawa perubahan pada zat, dengan arti keadaan orang yang mempunyai ilmu tidak berubah. Lebih lanjut al-Ghazali mengemukakn ilustrasi, bila seseorang berada di sebelah kanan anda lalu berpindah ke sebelah kiri, kemudian berpindah ke depan atau belakang, maka yang berubah adalah dia bukan anda. Demikianlah pula ilmu Allah, Ia mengetahui segala sesuatu dengan ilmu-Nya yang satu (esa) semenjak azali dan tidak berubah meskipun alam yang diketahui-Nya mengalami perubahan.[14] Untuk memperkuat argumennya al-Ghazali mengemukakan ayat-ayat al-Qur’an, di antaranya:
a.
QS Yunus (10): 61…..Tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar
zarrah (atom) di bumi ataupun langit. Tidak ada yang lebih kecil (pula) yang
lebih besar dari itu, melainkan (semua tercatat) dalam Kitab yang nyata (Lauh
Mahfuzh)
b.
QS Al-Hujurat (49): 16….. dan Allah mengetahui apa yang ada di langit dan
apa yang ada di bumi dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
Perbedaan pendapat antara al-Ghazali
dan para filosof muslim tentang pengetahuan Allah ini wajar terjadi. Menurut
para filosof muslim berbedanya objek ilmu membawa perubahan pada ilmu dan zat.
Sementara menurut al-Ghazali berbedanya obyek ilmu tidak membawa perubahan pada
ilmu dan zat. Perbedaan prinsip akan menyebabkan perbedaan kesimpulan.
Al-Ghazali berusaha menarik masalah pada tataran konkret, sedangkan para
filosof menarik masalah pada tataran abstrak.
Menurut para filosof muslim, yang akan dibangkitkan di akhirat nanti adalah rohani saja, sedangkan jasmani akan hancur, sehingga yang akan merasakan kebahagiaan atau kepedihan adalah rohani saja. Kendatipun ada gambaran dari agama berupa materi di akhirat, seperti surga dan neraka, semua itu pada dasarnya simbol-simbol (allegore) untuk memudahkan pemahaman orang awam.
Al-Ghazali pada dasarnya tidak menolak adanya bermacam-macam kelezatan di akhirat yang lebih tinggi daripada kelezatan di dunia empiris/indrawi. Ia tidak pula menolak kekekalan roh setelah berpisah dari jasad. Semua itu dapat diketahui berdasarkan otoritas jasad. Akan tetapi, ia membantah bahwa akal saja dapat memberikan pengetahuan final dalam masalah metafisika (sam’iyyat).
Al-Ghazali dalam menyanggah pendapat para filosof muslim lebih banyak bersandar pada arti tekstual Alquran. Menurut al-Ghazali, tidak ada alasan untuk menolak terjadinya kebahagiaan atau kesengsaraan fisik dan rohani secara bersamaan. Allah berfirman “ Tidak ada seseorangpun yang mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka (bermacam-macam nikmat) yang menyedapkan pandangan mata” Demikian pula Firman-Nya:”Aku sediakan bagi hamba-Ku yang saleh, apa yang tidak terlihat oleh mata, tidak terdengar oleh telinga, dan tidak tergores dalam hati manusia.” Janji-janji Allah Yang Maha Sempurna, perpaduan di antara kedua hal (jasmani dan rohani) adalah yang paling sempurna dan mesti mungkin. Karenanya wajib membenarkan kemungkinan ini sesuai dengan agama.[15] Seperti dijelaskan dalam firman Allah:
QS. Yaasin, 78-79: “Dan ia membuat perumpamaan bagi
kami; dan Dia lupa kepada kejadiannya; ia berkata: "Siapakah yang dapat
menghidupkan tulang belulang, yang telah hancur luluh?.”
Katakanlah: "Ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang
menciptakannya kali yang pertama. dan Dia Maha mengetahui tentang segala
makhluk.
BAB III
Dari klasifikasi tersebut,
dapat ditarik suatu garis horizontal bahwa Al-Ghazali menempatkan para filosof
pada kelompok kedua atau ketiga dengan pola berfikir mereka yang khas. Berarti
pemikiran filsafat harus dikembangkan di kalangan filosof. Hal ini sejalan
dengan ide para filosof muslim khususnya Al-Farabi yang menginginkan agar
filsafat tidak dibocorkan terhadap golongan awam, karena tingkat berfikir
mereka yang berbeda. Termasuk di dalamnya masalah metafisika dan teologi yang
tidak bisa dijelaskan dengan bahasa filsafat bagi orang awam. Begitu pula
sebaliknya, untuk berbicara dengan filosof maka harus dengan bahasa filsafat.
Al-Ghazali sendiri menurut Syekh Sulaiman Dunya dari al-Azhar, cairo memberikan
keterangan-keterangan dengan cara yang berlainan sesuai dengan situasi yang
dihadapinya. Inilah salah satu alasan munculnya tahafut al-falasifat sebagai
cara tersendiri dalam menghadapi para filosof dengan bahasa filsafat. Dengan
demikian Al-Ghazali tidaklah berbeda dengan filosof, bahkan ia adalah filosof.
Abdullah, M. Amin. 1996. Studi Agama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
. 2002. Antara al-Ghazali dan Kant, Filsafat Etika Islam. Cet.II; Bandung: Mizan
Akhyar Dasoeki, Thawil. 1993. Sebuah Kompilasi Filsafat Islam. Semarang: CV Toha Putra
Al-Ghazali. 1962. Tahafut al-Falasifah, Tahqiq Sulaiman Dunya, (Kairo: Dar-al-Ma’arif)
Ghazali, M. Bahri. 1991 Konsep Ilmu
Menurut Al-Ghazali: Suatu Tinjauan Psikologik Pedagogik. Yogyakarta:
Pedoman Ilmu Jaya
Ibnu Rusn, Abidin. 1998. Pemikiran Al-Ghazali
Tentang Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Nasution, Harun. 1995. Falsafat dan Mistisisme dalam
Islam. Jakarta: Bulan Bintang
Poerwantana, dkk, 1988. Seluk Beluk
Filsafat Islam. Bandung: CV ROSDA
Zar, Sirajuddin. 2004. Filsafat
Islam: Filosof dan Filsafatnya. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
[1] Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 9.
[4] Thawil Akhyar Dasoeki, Sebuah Kompilasi Filsafat Islam, (Semarang: CV Toha
Putra, 1993), hlm. 63.
[6] M. Bahri Ghazali, Konsep Ilmu Menurut
Al-Ghazali: Suatu TinjauanPsikologik Pedagogik, (Yogyakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1991), hlm. 31.
[8] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 176.
[10] M. Bahri Ghazali, Op. Cit., hlm.58.
[11] M. Amin Abdullah, Antara al-Ghazali dan Kant, Filsafat Etika
Islam (Cet.II; Bandung: Mizan, 2002), h. 62
[12] Al-Ghazali, Tahafut
al-Falasifah, Tahqiq Sulaiman Dunya, (Kairo: Dar-al-Ma’arif, 1962), h.
86-87.
[13] Ibid., h. 206-207.
[15] Ibid., h. 284-290.