KONSEPL JILBAB
DALAM PANDANGAN ISLAM
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latarbelakang Masalah
Budaya manusia tidak selalu sama
antara satu tempat dengan tempat lainnya, bahkan kebudayaan itu senantiasa berubah dari
generasi ke generasi secara turun temurun. Kalau ajaran Islam benar-benar diyakini
keuniversalannya, tentu keberlakuannya tidak terikat oleh tempat tententu dan
waktu tertentu dari generasi ke generasi. Hanya saja, Nabi saw yang diutus
untuk membawa ajaran Islam itu harus dilihat poisinya yang multi
dimensi.
Dalam
kehidupan muamalah sehari-hari, aspek perbedaan yang paling menonjol dari
sejumlah budaya dan tradisi masyarakat yang bersifat simbolis, antara lain
adalah busana. Syariat Islam mewajibkan kaum muslimin memakai busana yang
menutup aurat dan sopan, baik laki-laki maupun perempuan. Aurat laki-laki cukup
sederhana, berdasarkan ijma ulama, auratnya sebatas antara lutut dan di atas
pusat (bayn al-surrat wa al-ruqbatayn). Sedang aurat wanita adalah
segenap tubuhnya kecuali muka, telapak tangan dan telapak kakinya. Bahkan ada
pendapat yang mengatakan bahwa seluruh tubuh wanita tanpa kecuali adalah aurat.
Walaupun
demikian, tampak di kalangan ulama masih berbeda-beda dalam menginterpretasikan
budaya berpakaian secara Islami, khususnya kaidah-kaidah tentang batas aurat
itu sendiri. Berdasar pada latar belakang sebagaimana yang telah diuraikan di
atas, maka sangat menarik apabila persoalan budaya berbusana yaitu jilbab
tersebut dikaji berdasarkan pendekatan ijtihadi.
Saat ini banyak kaum wanita yang menggunakan jilbab dan
seakan-akan menjadi tren modern. Jilbab yang digunakan pun beraneka ragam. Mulai dari
jilbab gaul sampai jilbab syar’i. Lalu bagaimanakah sebenarnya jilbab dalam
pandangan Islam? Ketika masyarakat kita mengenal kata “jilbab” (dalam bahasa Indonesia) maka yang dimaksud adalah
penutup kepala dan leher bagi wanita muslimah yang dipakai secara khusus dan
dalam bentuk yang khusus pula.
Mungkin kita juga pernah mendengar wacana kalau
berjilbab maka harus menutup dada, lalu bagaimana kalau jilbabnya berukuran
kecil dan tidak panjang ke dada dan lengan, apakah muslimah yang memakainya
belum terhitung melaksanakan seruan agama dalam Al-Qur’an, itu sebab tidak ada
bedanya antara dia dan wanita yang belum memakai jilbab sama sekali, apakah
sama dengan wanita yang membuka auratnya (bagian badan yang wajib di tutup dan
haram di lihat selain mahram).
Dari uraian di atas tampak jelas kalau jilbab yang
dikenal oleh masyarakat Indonesia dengan arti atau bentuk yang sudah berubah
dari arti asli jilbab itu sendiri, dan perubahan yang demikian ini adalah bisa
dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satunya adalah sebab perjalanan waktu
dari masa Nabi Muhammad SAW sampai sekarang atau disebabkan jarak antar tempat
dan komunitas masyarakat yang berbeda yang tentu mempunyai peradaban atau
kebudayaan berpakaian yang berbeda.
B.
Rumusan Masalah
Bersandar pada Latarbelakang
Masalah di atas, dapat ditarik suatu permasalahan yaitu, “Bagaimana tafsir
surat Al-Ahzab ayat 59, tentang perintah berjilbab?”. Dari permasalahan
tersebut, dapat dirumuskan beberapa sub masalah berikut ini yaitu:
1.
Bagaimana pendapat para ahli
tafsir tentang surat Al-Ahzab ayat 59?,
2.
Persoalan apa yang diretas
oleh surat Al-Ahzab ayat 59 yang memerintahkan wanita muslim menggunakan
jilbab?.
BAB II
PEMBAHASAN
Jilbab yang
dikenal secara umum oleh masyarakat Indonesia adalah kain penutup aurat rambut
(yang dikenakan wanita Islam/muslimah). Arti kata yang dikutif dari kamus
tersebut tidaklah sempurna sehingga masih membutuhkan beberapa pengertian oleh
penafsir maupun para ahli. Beberapa pendapat tentang arti atau definisi Jilbab berikut ini.
Jilbab berarti selendang yang lebih lebar daripada kerudung.
Demikianlah menurut Ibnu mas`ud, Ubaidah, Qatadah, dan sebagainya.Kalau
sekarang, jilbab itu seperti kain panjang. Al-Jauhari berkata, "Jilbab
ialah kain yang dapat di lipatkan."
Terdapat
beberapa pengertian yang diberikan para ulama mengenai kata jilbab. Ibnu
Abbas menafsirkannya sebagai ar-ridâ' (mantel) yang menutup tubuh dari
atas hingga bawah. Al-Qasimi menggambarkan, ar-ridâ' itu seperti as-sirdâb
(terowongan). Adapun menurut al-Qurthubi, Ibnu al-'Arabi, dan an-Nasafi jilbab
adalah pakaian yang menutupi seluruh tubuh. Ada juga yang mengartikannya
sebagai milhafah (baju kurung yang longgar dan tidak tipis) dan semua
yang menutupi, baik berupa pakaian maupun lainnya. Sebagian lainnya memahaminya
sebagai mulâ'ah (baju kurung) yang menutupi wanita atau al-qamîsh
(baju gamis).
Meskipun
berbeda-beda, semua makna yang dimaksud itu tidak salah. Bahwa jilbab adalah
setiap pakaian longgar yang menutupi pakaian yang biasa dikenakan dalam
keseharian, hal tersebut
bisa dipahami dari Hadist berikut ini.:
“Nabi
saw. bersabda
“tidaklah halal bagi seorang perempuan yang percaya kepada Allah dan hari
kemudian dan telah haid untuk menampakkan kecuali wajahnya dan tangannya sampai
di sini (lalu beliau memegang setengah lengan beliau)” (H.R. Jabir
at-Thabari)”
Hadis
ini, di samping, menunjukkan kewajiban wanita untuk mengenakan jilbab
ketika hendak keluar rumah, juga memberikan batasan tentang jilbab;
bahwa yang dimaksud dengan jilbab bukanlah pakaian sehari-hari yang
biasa dikenakan dalam rumah. Sebab, jika disebutkan ada seorang wanita yang
tidak memiliki jilbab, tidak mungkin wanita itu tidak memiliki pakaian
yang biasa dikenakan dalam rumah. Tentu ia sudah memiliki pakaian, tetapi
pakaiannya itu tidak terkategori sebagai jilbab.
Ali Bin Abi
Thalhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas,dia berkata,"Allah menuyruh kaum wanita
mukmin, jika mereka hendak keluar rumah untuk suatu kepentingan, agar menutup
wajah mereka mulai dari atas kepala dengan jilbab. Yang boleh tampak hanyalah
kedua matanya saja."
A.
TAFSIR SURAT AL-AHZAB AYAT 59
1.
Terjemah Surat Al-Ahzab ayat 59
“Wahai Nabi! katakanlah kepada isteri-isterimu,
anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: “Hendaklah mereka
menutupkan jilbabnya seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenali, Sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha
Pengampun, Maha Penyayang.”
2.
Tafsir
Surat Al-Ahzab Ayat 59
Allah Swt memerintahkan Nabi saw untuk
menyampaikan suatu ketentuan bagi para Muslimah. Ketentuan yang dibebankan
kepada para wanita Mukmin itu adalah: yudnîna 'alayhinna min jalâbîbihinna
(hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka). Kata jalâbîb
merupakan bentuk jamak dari kata jilbâb.
Kata yudnîna merupakan bentuk mudhâri'
dari kata adnâ. Kata adnâ berasal dari kata danâ yang
berarti bawah, rendah, atau dekat. Dengan demikian, kata yudnîna bisa
diartikan yurkhîna (mengulurkan ke bawah). Meskipun kalimat ini
berbentuk khabar (berita), ia mengandung makna perintah; bisa pula
sebagai jawaban atas perintah sebelumnya.
Berkaitan dengan gambaran yudnîna
'alayhinna, terdapat perbedaan pendapat di antara para mufassir. Menurut
sebagian mufassir, idnâ' al-jilbâb (mengulurkan jilbab) adalah dengan
menutupkan jilbab pada kepala dan wajahnya sehingga tidak tampak darinya
kecuali hanya satu mata. Di antara yang berpendapat demikian adalah Ibnu Abbas,
Ibnu Sirrin, Abidah as-Salmani, dan as-Sudi. Demikian juga dengan al-Jazairi,
an-Nasafi, dan al-Baidhawi. Sebagian lainnya yang
menyatakan, jilbab itu diikatkan di atas dahi kemudian ditutupkan pada
hidung. Sekalipun kedua matanya terlihat, jilbab itu menutupi dada dan
sebagian besar wajahnya. Demikian pendapat Ibnu Abbas dalam riwayat lain dan
Qatadah. Adapun menurut al-Hasan, jilbab itu menutupi separuh
wajahnya.
Ada pula yang berpendapat, wajah tidak
termasuk bagian yang ditutup dengan jilbab. Menurut Ikrimah, jilbab
itu menutup bagian leher dan mengulur ke bawah menutupi tubuhnya, sementara
bagian di atasnya ditutup dengan kerudung ‘yang juga diwajibkan (QS an-Nur
[24]: 31).
“Katakanlah kepada wanita yang beriman:
"Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah
mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan
hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan
perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami
mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau
Saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka,
atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau
budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak
mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti
tentang aurat wanita. dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui
perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah,
Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.”
Ada catatan penting tentang batasan jilbab
sebagaimana telah diuraikan sebelumnya yaitu “Wa lâ yubdîna zînatahunna illâ
mâ zhahara minhâ” (dan janganlah mereka menampakkan kecuali yang biasa
tampak daripadanya). Menurut Ibn Jarir di dalam kitab tafsirnya mengartikan
“kecuali yang bisa tampak dari padanya” adalah wajah dan dua telapak tangan.
Ini adalah pendapat yang masyhur menurut jumhur ulama. Pendapat yang
sama juga dikemukakan Ibnu Umar, Atha', Ikrimah, Said bin Jubair, Abu
asy-Sya'tsa', adh-Dhuhak, Ibrahim an-Nakhai, dan al-Auza'i. Demikian
juga pendapat ath-Thabari, al-Jashash, dan Ibnu al-'Arabi.
Pendapat yang senada dengan pandangan Ibnu
Jarir tersebut didasarkan pada ijma’ wajibnya seorang shalat menutup auratnya,
dan bahwa perempuan harus membuka wajah dan kedua tangannya ketika shalat dan
bagian tubuh lainnya harus tertutup. Kalau semua itu sudah menjadi
ijma’, sebagaimana yang sama-sama kita ketahui, maka berarti wanita dibolehkan
membuka bagian badannya yang buka termasuk aurat sebagaimana berlaku juga pada
pria dengan ketentuannya. Meskipun ada perbedaan pendapat tentang wajah dan
telapak tangan, para mufassir sepakat bahwa jilbab yang dikenakan itu harus
bisa menutupi seluruh tubuhnya, termasuk di dalamnya telapak kaki. Hal ini
didasarkan pada Hadis Nabi saw :
"Siapa saja yang menyeret bajunya
lantaran angkuh, Allah tidak akan melihatnya pada Hari Kiamat." Ummu
Salamah bertanya, "Lalu bagaimana dengan ujung-ujung pakaian kami?"
Beliau menjawab, "Turunkanlah satu jengkal." Ummu Salamah bertanya
lagi, "Kalau begitu, telapak kakinya tersingkap." Lalu Rasulullah
saw. bersabda lagi, "Turunkanlah satu hasta dan jangan lebih dari itu."
(HR at-Tirmidzi).
Berdasarkan hadis ini, jilbab yang
diulurkan dari atas hingga bawah harus bisa menutupi dua telapak kaki wanita.
Dalam hal ini, para wanita tidak perlu takut jilbabnya menjadi najis jika
terkena tanah yang najis. Sebab, jika itu terjadi, tanah yang dilewati
berikutnya akan mensucikannya.
Tentang perintah memakai Jilbab,
sebagaimana termaktub dalam Q.S Al-Ahzab : 59, Allah Swt. berfirman: Dzâlika
adnâ an yu'rafna falâ yu'dzayn (Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah
untuk dikenal sehingga mereka tidak diganggu). Maksud kata dzâlika
adalah ketentuan pemakaian jilbab bagi wanita, sedangkan adnâ
berarti aqrab (lebih dekat). Yang dimaksud dengan lebih mudah dikenal
itu bukan dalam hal siapanya, namun apa statusnya. Dengan jilbab,
seorang wanita merdeka lebih mudah dikenali dan dibedakan dengan budak. Karena
diketahui sebagai wanita merdeka, mereka pun tidak diganggu dan disakiti.
Patut dicatat, hal itu bukanlah 'illat
(sebab disyariatkannya hukum) bagi kewajiban jilbab yang berimplikasi
pada terjadinya perubahan hukum jika illat-nya tidak ada. Itu hanyalah
hikmah (hasil yang didapat dari penerapan hukum). Artinya, kewajiban berjilbab,
baik bisa membuat wanita Mukmin lebih dikenal atau tidak, tidaklah berubah.
Ayat ini ditutup dengan ungkapan yang amat
menenteramkan hati: Wa kâna Allâh Ghafûra Rahîma (Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang). Karena itu, tidak ada alasan bagi manusia untuk tidak
bertobat kepada-Nya jika telah terlanjur melakukan perbuatan dosa dan tidak
menaati aturan-Nya.
B.
HIKMAH MENGGUNAKAN JILBAB.
1.
Asbabun Nuzul Q.S Al-Ahzab
tentang perintah Berjilbab
Dikemukakan Said bin Manshur, Saad, Abd
bin Humaid, Ibnu Mundzir, dan Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Abi Malik:
Dulu istri-istri Rasulullah saw. keluar rumah untuk keperluan buang hajat. Pada
waktu itu orang-orang munafik mengganggu dan menyakiti mereka. Ketika mereka
ditegur, mereka menjawab, "Kami hanya mengganggu hamba sahaya saja."
Lalu turunlah ayat ini yang berisi perintah agar mereka berpakaian tertutup
supaya berbeda dengan hamba sahaya.
Dari riwayat
tersebut, didapatkan keterangan bahwa menggunakan jilbab merupakan suatu
kekuatan simbolis kaum Mulimat. Itu dikarenakan hanya orang-orang yang tidak
menggunakan jilbab yang mendapat perlakuan tidak terhormat oleh orang-orang
munafik.
2.
Kajian Kontemporer Tentang Penggunaan Jilbab
Pemakalah menarik tolak ukur pada
penggunaan jilbab berdasarkan fungsi dan hikmahnya yaitu menjadikan wanita
muslimah lebih terhindar dari fitnah pelecehan seksual atau minimal
membangkitkan naluri seksual pada lawan jenisnya ketika menggunakan jilbab.
Kalau hal tersebut didasarkan pada kondisi masyarakat yang kebudayaannya
cenderung terbuka atau berpakaian minimalis, sementara hal itu tidak
membangkitkan reaksi dari lawan jenis maka itu dianggapnya sebagai suatu yang
biasa-biasa saja. Anggapan tersebut tidak semestinya menjadi acuan untuk
menggunakan jilbab, yaitu sekedar meredam reaksi yang kurang beretika dari
lawan jenis. Suatu perintah suci tidaklah akan bergeser dari segi fungsi karena
mereka yang kesehariannya menggunakan jilbab sesungguhnya memiliki keistimewaan
yaitu penghormatan dan penghargaan dari orang lain. Ini pun dijamin
oleh Allah sebagaimana telah diterangkan pada dua ayat yang telah dibahas di
atas.
3.
Hikmah Menggunakan Jilbab
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
mengatakan, “wahai saudara-saudaraku yang bertanggungjawab terhadap wanita,
sungguh telah menyebar di sebagian masyarakat dan dianggap remeh oleh mereka
bahwa anak-anak perempuan mereka menggunakan pakaian mini, yang ketat dan
menampakkan lekukan tubuh mereka. Atau menggunakan pakaian yang trasparan warna
kulit tubuhnya. Sesunggunya orang yang membiarkan putrid-putrinya membiarkan
menggunakan pakaian semacam ini dan menyetujuinya, maka pada hakikatnya, ia
telah menggunakan pakaian neraka.
Menggunakan pakaian atau busana merupakan
kebiasaan yang dibawah sejak dari masa kanak-kanak. Dengan demikian, untuk
menggunakan pakaian yang beretika, dibutuhkan pembiasaan karena membiasakan
diri berarti memudahkan jalan untuk menggunakan jilbab. Sebagian orang
berdalih bahwa “mereka masih kecil dan tidak ada kewajiban untuk mereka menutup
aurat” dalih seperti ini bukan berarti menghalalkan segala hal. Sebab, bila
seorang anak perempuan sejak kecil menggungakan pakaian-pakaian semeberono,
maka ketika dewasa, ia akan terbiasa mengenakannya. Bila ia memakainya diwaktu
kecil, maka akan hilang rasa malu darinya dan menganggap remeh ketika ia
menyingkap betis dan pahanya. Sebab bila bagian-bagian tubuh ditutup sejak
dini, maka ia tidak akan berat untuk tetap melakukan hal yang sama ketika dewasa,
bahkan akan muncul rasa malu keti menggunakan pakaian terbuka ditempat umum.
Ayat ini secara jelas memberikan ketentuan
tentang pakaian yang wajib dikenakan wanita Muslimah. Pakaian tersebut adalah
jilbab yang menutup seluruh tubuhnya. Bagi para wanita, mereka tak boleh merasa
diperlakukan diskriminatif sebagaimana kerap diteriakkan oleh pengajur
feminisme. Faktanya, memang terdapat perbedaan mencolok antara tubuh wanita dan
tubuh laki-laki. Oleh karenanya, wajar jika ketentuan terhadapnya pun berbeda.
Keadilan tak selalu harus sama. Jika memang faktanya memang berbeda, solusi
terhadapnya pun juga tak harus sama.
Penggunaan jilbab dalam kehidupan umum
akan mendatangkan kebaikan bagi semua pihak. Dengan tubuh yang tertutup jilbab,
kehadiran wanita jelas tidak akan membangkitkan birahi lawan jenisnya. Sebab,
naluri seksual tidak akan muncul dan menuntut pemenuhan jika tidak ada stimulus
yang merangsangnya. Dengan demikian, kewajiban berjilbab telah menutup salah
satu celah yang dapat mengantarkan manusia terjerumus ke dalam perzinaan;
sebuah perbuatan menjijikkan yang amat dilarang oleh Islam.
Walhasil, penutup ayat Q.S. Al-Ahzab ini harus menjadi catatan amat penting
dalam menyikapi kewajiban jilbab. Wa kânaLlâh Ghafûra Rahîma (Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang). Ini memberikan isyarat, kewajiban berjilbab
tersebut merupakan salah satu bentuk kasih sayang Allah Swt. kepada hamba-Nya.
Allah Ta`ala menyuruh Rasulullah agar dia menyuruh
wanita-wanita mukimin, terutama istri-istri dan anak-anak perempuan beliau
karena keterpandangan mereka, agar mengulurkan jilbab keseluruh tubuh mereka.
Sebab cara berpakaian demikian membedakan mereka dari kaum jahiliah dan
budak-budak perempuan.
BAB
III
PENUTUP
Demikianlah makalah ini dibuat,
sebagai penutup, pemakalah dapat menyimpulkan beberapa poin terkait dengan
pembahasan makalah ini, diantara catatan penting tersebut, adalah sebagai
berikut:
1. Jilbab adalah setiap pakaian longgar yang menutupi pakaian yang biasa
dikenakan dalam keseharian wanita muslim dan hukum menggunakannya adalah wajib.
Hal ini sesuai
dengan penjelasan Q.S An-Nur (24) 30-31 dan beberapa penjelasan Hadist yang
telah dibahas.
2. Diantara hikmah dari perintah menggunakan Jilbab bagi wanita Muslim adalah
karena beberapa persoalan sosial yang diretas atau bisa diatasi dengan
menggunkakan menggunakan jilbab, diantaranya ialah dapat
menghindari fitnah syahwat dan sebelihnya mengangkat derajat kaum wanita
muslimat dari perlakuan orang-orang munafik.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Albani, Syaikh Nasaruddin, Jilbab Wanita Muslimah, Yogyakarta,
Media Hidayah, Cet I; November 2002
Kitab Suci Al-Qur’an,
Departemen Agama Republik Indonesia, Al
Qur’an dan Terjemahnya, Semarang; PT. Karya Toha Putra, 2002.
http://vanihayat.blogspot.com/ Tafsir Surat Al-Ahzab ; 59,
Juni 2012
http://remajaislam-ikhlas.blogspot.com/2011/04/kewajiban.berjilbab.html Kewajiban Berjibab, Juni 2012
http://www.inpasonline.com/index.php?option=comcontent&view=article&id=93:jilbab. khilafiyah&catid=32:gender&Itemid=100.Jilbab, Khilafiyah. (Kritik Terhadap Qurais Shihab). Juni 2012
Shihab, M. Quraish, Jilbab – Pakaian Wanita Muslimah (Pandangan
Ulama masa lalu & Cendikiawan Kontemporer), Jakarta, Lentera Hati, Cet
V; 2010
Talhah bin Abdus Sattar, Abu, Tata Busana Para Salaf, (bagaimana gaya
Berpakaian Nabi saw., Para Sahabat dan Shahabiyah?), Solo, Zam-Zam Mata air
ilmu, Cet I; 2008
Yassin, Sulchan, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia (KBI-SAKU)
untuk Pelajar dan Umum.Surabaya; Penerbit Amanah, 1997