Thursday, May 17, 2012

Pemikiran Pendidikan Nur Cholis Madjid

I.     PENDAHULUAN
          Nurcholis Madjid adalah tokoh pembaharu yang tidak asing lagi untuk banyak orang. Pemikiran-pemikirannya tak luput dari sorotan banyak ahli baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Tidak jarang banyak pemikirannya yang dijadikan sebagai rujukan dalam pembahasan terkait keIslaman, keIndonesiaan, Politik bahkan Pendidikan.
          Pemikirannya yang paling menggegerkan khalayak, terutama para aktivis gerakan Islam, adalah saat pemimpin umum majalah Mimbar Jakarta ini melontarkan pernyataan “Islam yes, partai Islam no”. Ia ketika itu menganggap partai-partai Islam sudah menjadi “Tuhan” baru bagi orang-orang Islam.
          Bagaimana halnya dengan pemikiran Nurcholis Madjid tentang pendidikan? Dalam makalah ini akan dibahasan gagasan-gagasan beliau mengenai pendidikan yang meliputi: riwayat hidup Nurcholis Madjid, siklus sosial Nurcholis Madjid, pendekat teori, isi teori, ide pokok pemikiran serta analisis relevansi teori Nurcholis Madjid dengan pendidikan saat ini.
II.  PEMBAHASAN
A.      Riwayat Hidup Nurcholis Madjid
          Nurcholis Madjid lahir di Jombang Jawa Timur, 17 maret 1939 (26 muharram 1358), dari keluarga kalangan pesantren. Cak Nur, bagitu panggilan angkrabnya ketika kecil bercita-cita menjadi masinis kereta api. Pendidikan yang ditempuh : Sekolah Rakyat di Mojoanyar dan bareng (pagi) dan Madrasah Ibtidaiyah di Mojoanyar (sore) ; Pesantren Darul Ulum di Rejoso, Jombang ; KMI ( Kuliyatul Mutaalimin al-Islamiyah) Pondok Pesantren Modern Darussalam Gontor, Ponorogo ; IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (Sarjana Sastra Arab 1968), dan Universitas Chicago, Illinois, AS (Ph.D., Islamic Thought, 1984).[1]
          Beliau aktif  dalam gerakan kemahasiswaan, antara lain: Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Ciputat; Ketua Umum PB HMI (1966-1969 dan 1969-1971); Presiden pertama PEMIAT (Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara), 1967-1976; Wakil sekjen IIFSO (International Islamic Federation of Studens Organizations), 1969-1971 dan sejak tahun 1991 Nurcholis Madjid menjabat sebagai Wakil Ketua Dewan pakar Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI).
          Kegiatan dalam bidang pendidikan, antara lain: mengajar di IAIN Syarif Hidayatullah, 1985-2005; peneliti pada LIPI, 1978-2005; guru besar tamu di Universitas McGill, Montreal, Canada, 1991-1992. Fellow dalam Eisenhower Fellowship, bersama isteri 1990. Beliau banyak menulis makalah-makalah yang diterbitkan di berbagai majalah, surat kabar dan buku sutingan. Sejak tahun 1986, bersama kawan-kawan di ibukota mendirikan dan memimpin Yayasan Wakaf Paramadina, dengan kegiatan-kegiatan yang mengarah kepada gerakan intelektual Islam di Indonesia.[2]
          Cak Nur meninggal dunia pada 29 Agustus 2005 akibat penyakit sirosis hati yang dideritanya. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata meskipun merupakan warga sipil karena dianggap telah banyak berjasa kepada negara.[3]
B.       Siklus Sosial Nurcholis Madjid
Nurcholis Madjid yang biasa dipanggil Cak Nur, hidup ditengah keluarga NU yang kental. Ayahnya adalah tokoh terkemuka (kiyai) sekaligus seorang pemimpin partai Islam (Masyumi) kala itu. Riwayat pendidikannya yang beraruskan paham keagamaan yang kental menjadikannya seorang yang kritis dan mapan dalam pemikiran ke-Islaman.
Berdasarkan hasil lacakan atas genealogi keluarga dan komunitas sosialnya, Cak Nur berasal dari lingkaran Islam borjuis. Tipologi Islam borjuis digunakan untuk mengidentifikasi kelas menengah atas muslim perkotaan yang secara ekonomi mapan, ideologinya cenderung mengusung simbol-simbol Masyumi-HMI, dan cenderung mengurung simbol-simbol Islam formal.
Cak Nur adalah seorang yang sering dijuluki “Guru Bangsa” karena banyak memikirkan bagaimana Indonesia menjadi sebuah bangsa yang berperadaban tinggi. Pemikiran-pemikirannya tidak hanya terbatas mengenai Islam, tetapi juga meliputi pemikiran keindonesiaan modern. Iapun menjadi pelopor banyak isu pembaharuan politik, seperti ide pentingnya osisi loyal, civil society, demokrasi, pancasila sebagai common platform bangsa ditengah nilai-nilai keagamaan, pluralisme, dan hak asasi manusia. kontribusi pemikiran Cak Nur bukan hanya berkaitan dengan umat Islam, tetapi juga bangsa Indonesia.
C.      Pendekatan Teori Nurcholis Madjid
Berbicara mengenai Cak Nur tidak akan terlepas dari anggapan tentang konotasi Islam liberal ataupun plural. Menurut Khalik[4], pluralisme Cak Nur bertumpu pada pada gagasan Islam sebagai agama universal dan tetap berputar di orbit komunal partikular karena masih melihat kebenaran agama lain dengan perspektif agama sendiri.
Cak Nur mengusung pemikiran pluralisme positif. Pluralisme positif menupakan semangat yang menjadi salah satu hakikat islam. Pluralisme oleh islam yang tidak pernah hilang itu sekarang harus dengan penuh kesadaran diterapkan dalam pola-pola yang sesuai dengan tuntutan zaman moderen, demi memenuhi tugas sucinislam sebagai agama tauhid (ketuhanan YME) untuk ikut serta menyelamatkan umat manusia dan kemanusiaan di zaman mutakhir ini.[5]
Pendekatan lain yang dibawa Cak Nur adalah pendekatan neomodernis. Dalam bingkai neomodernis inilah sebenarnya Cak Nur meletakkan pondasi pemikiran Islam. Gagasannya jauh kedepan  karena ia amat menyadari bahwa untuk mengubah karakter umat Islam, dan bangsa Indonesia secara lebih umum diperlukan waktu sekitar 25 tahun.
Disini Cak Nur melihat potensi pesantren di Indonesia. Dilihat dari historisnya, pesantren sebagai sistem pendidikan tradisional dan tertua telah memainkan peran cukup penting dalam membentuk kualitas sumber daya manusia Indonesia. Pada era 70-an Cak Nur telah memprekdidikan pesantren sebagai sesuatu yang dapat dijadikan alternatif terhadap sistem yang ada.[6]
D.      Isi Teori
1.      Kondisi objektif pesantren
Pesantren di Indonesia lebih populer dengan sebutan pondok pesantren. Pesantren terdiri dari 5 pokok elemen, yaitu: kyai, santri, masjid, pondok dan pengajaran kitab-kitab klasik. Keberadaan kyai dalam pesantren  laksana jantung bagi kehidupan manusia. Intensitas kyai memperlihatkan peran yang otoriter karena kyailah perintis, pendiri, pengasuh, pemimpin bahkan pemilik tunggal sebuah pesantren[7]. Segala urusan yang berkaitan langsung dengan pesantren menjadi  dan bahkan bisa dicampuri oleh kyai langsung. Sehingga banyak pesantren yang tutup pasca wafatnya sang kyai.
Dalam proses pembelajaran para santri mempelajari kitab-kitab klasik dimana kitab-kitab tersebut dapatmengidentifikasikan kazanah keilmuan yang yang bernuansa kultural, akhlak, ilmu, karomah, integritas keimanan, kefaqihan, dan sebagainya. Masjid juga menjadi hal utama dalam sistem pembelajaran pesantren. Disini, masjid bukan hanya fijadikan sebagai sarana kegiatan saja, namun juga sebagai pusat belajar mengajar.
Dari sikap terhadap tradisi pesantren kepada jenis salafi dan khalafi.[8] Jenis salafi merupakan jenis pesantren yang tetap mempertahankan pengajaran kitab-kitab Islam klasik sebagai inti pendidikannya. Berbeda dengan pesantren khalafi yang tampaknya menerima hal-hal baru yang dinilai baik disamping tetap mempertahankan tradisi lama yang baik.
Pada kondisi objektif tersebut, guna menjadikan pesantren lebih ideal, Nurcholis menawarkan perlu adanya rekonstruksi tujuan pesantren,  adanya pembaharuan pesantren serta membaharui manajemen pesantren.[9]
2.      Tujuan pendidikan pesantren
Faktor pertama kurangnya kemampuan pesantren dalam merespon dan mengikuti perkembangan zaman terletak pada lemahnya visi dan tujuan yang dibawa pendidikan pesantren.
Pada dasarnya tujuan dari pendidikan pesantren adalah mencipta dan mengembangkan kepribadian muslim yang bermanfaat bagi agama, masyarakat dan negara,[10] serta membentuk manusia yang memiliki kesadaran tinggi bahwa ilmu pengetahuan Islam sesungguhnya meliputi lingkup yang amat luas,yaitu tentang Tuhan, manusia dan alam termasuk matematika, astronomi dan ilmu bumi matematis sebagaimana terbukti dari banyaknya istilah-istilah moderen (barat) di bidang-bidang itu berasal dari para ilmuan muslim.[11]Tujuan akhirnya adalah beriman, berilmu dan beramal[12].
3.      Kurikulum dan metode pendidikan pesantren
Nurcholis Madjid menyatakan bahwa dalam aspek kurikulum, pelajaran agama masih dominan dilingkungan pesantren. Pada umumnya pembagian keahlian lulusan atau produk pendidikan pesantren berkisar pada bidang-bidang berikut[13] :
Ø   Nahwu-sharaf
Ø   Fiqh
Ø   ‘aqaid
Ø   Tasawuf
Ø   Tafsir
Ø   Hadits
Ø   Bahasa Arab
Nurcholis Madjid menekankan agar dalam penerapan kurikulum dipesantren adanya check and balance[14]. Perimbangan ini dimaksudkan agar pengetahuan keislaman dan pengetahuan umum agar dapat berjalan sejalan satu dengan yang lainnya.
4.      Sistem nilai pesantren
Ada tiga aspek yang mengakar dalam kultur pesantren yang digunakan sebagai sistem nilai yang dikenal sebagai Ahl-al-sunnah wa al-jamaah[15] , yaitu :
Ø  Teologi Al-Asy’ari
Ø  Fiqh madzhab
Ø  Tasawuf praktis
E.       Ide Pokok Pemikiran
Pendidikan Islam menurut Nurcholis Madjid harus dapat memberikan arah pengembangan dua dimensi bagi peserta didik, yakni dimensi ketuhanan dan dimensi kemanusiaan. Jika diklasifikasikan, maka konsep pembaharuan pendidikan Islam Nurcholis Madjid merupakan sebentuk corak pendidikan progresif plus spiritualitas. Hal ini dibuktikan dengan memperhatikan dua orientasi pendidikan di atas dan prinsip-prinsip pemikiran Nurcholis Madjid yang kerap menekankan sikap terbuka, fleksibel, kritis dalam berpikir; gagasan tentang demokrasi; desakralisasi atau sekularisasi; atau cita-cita masyarakat madani yang toleran dan plural. Kesemua modalitas ini kemudian diwujudkan sebagai agenda pembaharuan pendidikan Islam melalui seperangkat metodologi yang beberapa di antaranya telah penulis identifikasi sebagai metode berpikir rasional, metode pemecahan masalah, eksperimen, kontemplasi, diskusi, dan penguasaan bahasa asing.[16]
Kegiatan menanamkan nilai-nilai, sesungguhnya akan membentuk pendidikan keagamaan. Nilai – nilai  itu antara lain: Islam, iman, ihsan, taqwa, ikhlas, tawakal, syukur dan sabar. Kemudian nilai-nilai akhlak yang akan mendorong kepada kemanusiaan antara lain: silaturrahmi, persaudaraan, adil, baik sangka, rendah hati, tepat janji, lapang dada, dapat dipercaya, dan sebagainya.[17]
F.       Analisis
Dari berbagai pemaparan tentang tawaran konsep pendidikan Nurcholis Madjid yang hampir sebagian besar mengerucut pada pembaharuan pesantren, saya rasa sangan relevan jika diterapkan pada saat ini. Hal ini karena, masih banyak pesantren di Indonesia yang masih termajinalkan. Kaum santri yang masih dikonotasikan udik dan tidak intelek. Dengan pembaharuan pendidikan pesantren yang bisa mengintegralkan antara pendidikan umu dan agama bisa diharapkan akan terwujudnya para santri intelek dan atau intelek santri.
III.   PENUTUP
Dari pemaparan diatas, dapat disimpulkan bahwa pemikiran Cak Nur memang tidak akan pernah bisa terlepas dari ke-Islaman. Begitu pula dengan pemkirannya terkait dengan pendidikan. Cak Nur lebih banyak menyorot pesantren yang memang masih dirasa perlu memberikan perhatian khusus.
Tawaran yang Cak Nur berikan adalah penertiban manajemen pesantren, merumuskan kembali tujuan pesantren, kurikulum pesantren, sistem nilai pesantren serta penanaman value (nilai) kepada peserta didik. Briman, berilmu dan beramal.

DAFTAR PUSTAKA
Sholehudin, M. Sugeng. Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam, 2005. Pekalongan : STAIN Pekalongan press.
Madjid, Nurcholis. Islam, Doktrin dan Peradaban; sebuah telaah kritis tentang masalah keimanan, kemanusiaan dan kemoderenan. 1992. Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina.
Yasmadi. Modernisasi pesantren,Kritik Nurcholis Madjid terhadap Pendidikan Islam Tradisional.  2002. Jakarta: Ciputat Press.
Madjid, Nurcholis. Bilik-bilik pesantren. 1997. Jakarta: Paramadina.
Qomar, Mujamil. Pesantren: dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi. 2005. Jakarta: Erlangga.
Fajar, A.Malik. Reorientasi Pendidikan Islam. 1999. Jakarta: Fajar Dunia.


[1] M. Sugeng Sholehudin, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam, (Pekalongan : STAIN Pekalongan press), 2005, hal. 89
[2] Ibid. Hal.90
[4] Op.cit, hal 98
[5] Nurcholis Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban; sebuah telaah kritis tentang masalah keimanan, kemanusiaan dan kemoderenan, (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina) 1992 hal. ii
[6] Yasmadi, Modernisasi pesantren,Kritik Nurcholis Madjid terhadap Pendidikan Islam Tradisional (Jakarta: Ciputat Press), 2002, hal.59-60
[7]  Ibid, hal.63
[8] Nurchois Madjid, Bilik-bilik pesantren, (Jakarta: Paramadina), 1997, hal 163
[9] Ibid, hal.18
[10]  Mujamil Qomar, Pesantren: dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi, (Jakarta: Erlangga), 2005, hal. 4
[11] Nurcholis Madjid, Islam, doktrin dan peradaban ............................hal. xIi
[12] Ibid hal. v
[13]Nurcholis Madjid, Bilik-bilik pesantren .............................................hal. 7
[14] Yasmadi, Modernisasi Pesantren ........................... hal. 89
[15] Ibid, hal92-105
[17] A. Malik Fajar, Reorientasi Pendidikan Islam, (Jakarta: Fajar Dunia), 1999, hal. 10-17