BAB I
PENDAHULUAN
Dalam sejarah pemikiran filsafat abad pertengahan, sosok
Ibnu Sina (980 M), dalam banyak hal unik. Diantara para filosof muslim, ia
tidak hanya uni tapi juga memperoleh penghargaan yang semakin tinggi hingga masa modern. Ia adalah satu-satunya
filosof besar Islam yang telah berhasil membangun sistem filsafat yang lengkap
dan terperinci. Suatu sistem yang telah mendominasi tradisi filsafat muslim
selama beberapa abad.
Ibnu Sina merupakan filosof muslim
yang berani melawan kekangan filsafat Yunani, bahkan buah pemikirannya juga
dikonsumsi oleh para pelajar barat.
Dia adalah seorang yang menggunakan
dunia sebagai ladang aktivitas untuk menjalankan rencana dan mimpi untuk
menikmati hasilnya. Dia percaya bahwa orang bisa menikmati dunia melalui pencarian
tentang rahasia alam seluas-luasnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
RIWAYAT HIDUP IBNU SINA
Abu Ali al-Husain bin Abdullah bin Sina (980 –
1037) atau yang secara umum dikenal dengan Ibnu Sina atau Avicenna (bahasa
Latin yang didistorsi dari bahasa Hebrew Aven Sina) adalah seorang
ensiklopedis, filsuf, fisiologis, dokter, ahli matematika, astronomer, dan
sastrawan.
Bahkan, di beberapa tempat ia lebih terkenal
sebagai sastrawan daripada filsuf muslim yang sangat terkenal dan salah seorang
ilmuwan dan filsuf terbesar sepanjang masa. Diakui oleh semua orang bahwa
pikirannya merepresentasikan puncak filsafat Arab. Dia dipanggil oleh orang
Arab dengan sebutan Asy-Syaikh Ar-Rais.
Dia lahir di Afsanah, Bukhara, Transoxiana (Persia
Utara). Dia mengajar kedokteran dan filsafat di Isfahan, kemudian tinggal di
teheran. Dia adalah seorang dokter ternama di mana mulai abad ke-12 sampai
ke-17, bukunya dalam bidang pengobatan, Qanun fi Ath-Thibb, menjadi
rujukan di berbagai univesitas Eropa.
Dia menjadi sahabat karib raja karena keahliannya
dalam masalah pengobatan. Di usia senam belas tahun, ia telah menyembuhkan
Sultan Samaniah, Nuh bin Masnur, dari pengakit serius yang dideritanya. Dia
kemudian diangkat menjadi dokter istana. Dengan posisinya ini, dia memiliki
kesempatan untuk mempelajari buku-buku langka di perpustakaan Sultan. Dalam
usia dua belas tahun, dia telah banyak meringkas buku-buku filsafat. Bahkan,
buku pertama yang ditulisnya dalam masalah psikologi dipersembahkan untuk
Sultan, dengan judul Hadiyah ar-Ra’is ila al-Amir.
Dia banyak menulis buku dalam berbagai persoalan,
mulai filsafat, geometri, aritmatika, bahasa, teologi, sampai musik. Yang
paling terkenal di antaranya ialah Kitab asy-Syifa’ yang terdiri dari 18
jilid, an-Najah terdiri dari 10 jilid, al-Hikmah terdiri dari 10
jilid, dan Qanun fi ath-Thibb yang didalamnya berisi lebih dari 700
resep dan kegunaannya.
Di usia 22 tahun, setelah kematian ayahnya, ia
meninggalkan Bukhara menuju Jurjan. Tidak lama kemudian ia meninggalkan Jurjan
karena kekacauan politik. Dia pergi ke kota Hamazan, di mana ia berhasil
menyembuhkan penyakit Sultan Syams ad-Dawlah dari Dinasti Buwaihi. Atas
jasanya, Sultan mengangkatnya menjadi perdana menteri di Rayyand, tetapi
kalangan tentara memusuhinya dan menjebloskannya ke dalam penjara. Atas bantuan
Sultan, dia dikeluarkan dari penjara.
Sekali lagi, dia berhasil menyembuhkan penyakit
Sultan. Dan sekali lagi, ia diangkat menjadi menteri di hamadan. Jabatan ini
diembannya sampai meninggalnya Sultan. Ketika ia hendak pergi ke Isfahan, ia
ditangkap oleh Taj al-Muluk, putera Sultan Syams ad-Dawlah, dan dijebloskan ke
penjara selama empat bulan. Dia dapat melarikan diri ke Isfahan dengan cara
menyamar.
Dia meninggal di usia 57 tahun, di mana diakhir
hayatnya ia menjadi guru filsafat dan dokter di Isfahan.[1]
Ia mempunyai ingatan dan kecerdasan yang luar
biasa sehingga dalam usia 10 tahun telah mampu menghafal al-Qur’an, sebagian
sastra Arab, dan ia juga hafal kitab metafisika karangan Aristoteles, setelah
membacanya 40 kali. Ia juga mempelajari ilmu kedokteran pada Isa bin Yahya,
seorang Masehi.[2]
B.
PEMIKIRAN PENDIDIKAN IBNU SINA
1.
Tujuan Pendidikan
Menurut Ibnu Sina tujuan
pendidikan Islam adalah untuk membentuk manusia yang berkepribadian akhlak
mulia. Ukuran berakhlak mulia dijabarkan secara luas yang meliputi segala aspek
kehidupan manusia. Aspek-aspek kehidupan yang menjadi syarat bagi terwujudnya
suatu sosok pribadi berakhlak mulia meliputi aspek pribadi, sosial, dan
spiritual. Ketiganya harus berfungsi secara integral dan komprehensif.
Orang yang mempunyai
akhlak mulia akan dapat mencapai kebahagiaan (sa’adah). Kebahagiaan
menurut Ibn Sina, dapat diperoleh manusia secara bertahap. Mula-mula
kebahagiaan secara individu dan kebahagiaan ini akan tercapai jika individu
memiliki akhlak mulia. Jika setiap individu yang menjadi anggota rumah tangga
memiliki akhlak mulia, maka akan tercapai pula kebahagiaan rumah tangga. Jika
masing-masing rumah tangga berpegang pada prinsip akhlak mulia, maka akan
tercapailah kebahagiaan dalam masyarakat dan bahkan kebahagiaan manusia secara
keseluruhan.
Untuk terciptanya sosok
manusia yang berakhlak, maka harus dimulai dari dirinya, serta ditunjang
kesehatan jasmani dan rohani. Bila kondisi ini dapat dimiliki, maka manusia
akan mampu menjalankan proses muamalat dengan teman pergaulan dan
lingkungannya, serta mampu mendekatkan diri kepada Allah, bahkan pada akhirnya
akan mampu melakukan ma’rifah kepada Allah. Kondisi yang demikian merupakan
puncak dari tujuan pendidikan manusia.
Rumusna tujuan pendidikan
yang diformulasi Ibn Sina tampak dipengaruhi oleh pemikiran filsafat dan
metafisisinya, di samping pengaruh sosio kultural dan politik waktu itu. Namun
demikian, ada dugaan kuat bahwa pengaruh tersebut justru muncul dari iman dan
takwa, serta konsep ilmu pengetahuan yang dimilikinya.
2.
Kurikulum
Sesuai dengan konsep
dasarnya, yaitu pendidikan akhlak, maka dalam merumuskan bahan pengajarannya
diawali dengan materi al-Qur’an. Dalam pengajaran al-Qur’an seorang peserta
didik pada awalnya hendaklah diperkenalkan dengan huruf-huruf hijaiyah yang
ditemukan dalam syair-syair dan beberapa ilmu lainnya. Setelah itu, pendidik
harus melakukan pengamatan tentang apa yang menjadi minat dan bakat peserta
didiknya. Penidik hendaknya berusaha membimbingnya ke arah pengembangan
totalitas potensi dan kepribadiannya secara utuh. Hal ini menurut Ibnu Sina
merupakan esensi tujuan pendidikan Islam yaitu untuk mengisi lapangan kerja
yang ada dalam masyarakat.
Menurutnya, dalam
pelaksanaan proses belajar mengajar, peserta didik hendaknya memulainya dari
mempelajari al-Qur’an. Dalam waktu bersamaan, peserta didik juga disuruh
mempelajari ejaan huruf, menghafal syair, dan pepatah. Setelah mereka sudah
pandai membaca, menghafal al-Qur’an dan menguasai pelajaran bahasa Arab, maka
kemudian mereka diarahkan kepada mata pelajaran yang sesuai dengan bakatnya.
Dalam konteks ini, pendidik hendaknya berusaha untuk membimbing peserta didik
ke arah tercapainya tujuan pendidikan (Islam) yang diinginkan.
3.
Proses Pembelajaran
Dalam masalah proses
pembelajaran, Ibnu Sina telah meletakkan dasar psikologi pendidikan. Hal ini
terlihat bahwa ia sangat memperhatikan kondisi psikologi peserta didik. Sikap
yang demikian dapat terlihat dari uraiannya mengenai pendidikan peserta didi
bila dilihat dari tingkat usia, bakat, dan kemauan peserta didik. Dengan
mengetahui latar belakang, bakat dan kemauan peserta didik, maka bimbingan
pendidikan yang diberikan kepada peserta didik akan lebih berhasil.
Berdasarkan tujuan
pendidikan yang telah diformulasi di atas, ia juga membicarakan bagaimana upaya
untuk mendorong tercapainya tujuan pendidikan yang telah disusun. Diantara
upaya tersebut adalah Ibnu Sina telah ikut mencoba membicarakan cara memotivasi
peserta didik ke arah akhlak mulia. Dalam perumusan, tampaknya Ibnu Sina
dipengaruhi oleh pribadi ketabibannya. Untuk memotivasi kemampuan peserta didik
secara maksimal, maka pendidik harus bertindak secara taktis dan jangan sampai
salah langkah. Pujian perlu diberikan guna membangkitkan semangatnya. Hukuman
juga harus digunakan bila hal tersebut dipandang perlu. Di antara hukuman yang
dimaksud adalah bisa berbentuk pukulan ataupun ancaman bila memang kondisinya
mengijinkan. Begitu pula sikap pendidik. Pendidik harus menggunakan cara lain;
pendekatan persuasif atau takhwil. Suatu saat, pendidik dapat menunjukkan wajah
muram dan marah, sebagai tanda tidak senang terhadap penyimpangan peserta didik
terhadap akhlak mulia. Demikian pula sebaliknya.
4.
Metode Pembelajaran
Dari segi metode, Ibnu
Sina metode diskusi (mujadalah). Metode ini dilakukan melalui aktifitas
siswa. Mereka ditekankan dan dibiarkan berbincang-bincang dengan sesama
temannya. Melalui bentuk belajar yang demikian, maka peserta didik dapat mengembangkan
potensi nalar dan sosialnya. Metode lain yang dikembangkan ialah pembiasaan dan
penciptaan lingkungan kondusif akhlaki.[3]
5.
Konsep Guru
Konsep guru yang
ditawarkan Ibnu Sina antara lain berkisar tentang guru yang baik. Dalam
hubungan ini, Ibnu Sina mengatakan bahwa guru yang baik adalah berakal cerdas,
beragama, mengetahui cara mendidik akhlak, cakap dalam mendidik anak,
berpenampilan tenang, jauh dari berolok-olok dan bermain-main di hadapan
muridnya, tidak bermuka masam, dan sopan santun. Lebih lanjut Ibnu Sina
menambahkan bahwa seorang guru itu sebaiknya dari kaum pria yang terhormat dan
menonjol budi pekertinya, cerdas, teliti, sabar, telaten, dalam membimbing
anak-anak, adil, hemat dalam penggunaan waktu, gemar bergaul dengan anak-anak
dan lain-lain.
Tugas seorang guru dalam
mendidik tidaklah mudah, sebab pad ahakikatnya tugas pendidikan yang utama
adalah membentuk perkembangan anak dan membiasakan kebiasaan yang baik dan
sifat-sifat yang baik menjadi faktor utama guna mencapai kebahagiaan anak. Oleh
karena itu, ornag yang ditiru hendaklah menjadi pemimpin yang baik, contoh yang
bagus dan berakhlak hingga tidak meninggalkan kesan buruk dalam jiwa anak yang
menirunya (Azra, 1999: 81).
Jika diamati secara
seksama, tampak bahwa potret guru yang dikehendaki Ibnu Sina adalah guru yang
lebih lengkap dari potret guru yang dikemukakan para ahli sebelumnya. Dalam
pendapatnya itu, Ibnu Sina tidak saja menekankan unsur kompetensi atau
kecakapan dalam mengajar, tetapi juga berkepribadian yang baik. Dengan
kompetensi itu, seorang guru akan dapat mencerdaskan anak didiknya dengan
berbagai pengetahuan yang diajarkannya dan dengan akhlak ia dapat membina
mental dan akhlak anak.
6.
Konsep Hukuman dalam Pengajaran
Ibnu Sina pada dasarnya
tidak berkenan menggunakan hukuman dalam kegiatan pengajaran. Hal ini
didasarkan pada sikapnya yang sangat menghargai martabat manusia. Namun dalam
keadaan sangat terpaksa, hukuman dapat dilakukan dengan cara yang amat
hati-hati. Ibnu Sina menyadari bahwa manusia memiliki naluri yang sellau ingin
disayang, tidak suka diperlakukan kasar, dan lebih suka diperlakukan halus.
Atas dasar pandangan kemanusiaan inilah, Ibnu Sina sangat membatasi pelaksanaan
hukuman. Penggunaan-penggunaan bantuan tangan adalah pembantu paling diandalkan
dan merupakan seni bagi seorang pendidik. Dengan ada kontrol secara terus
menerus mendidik anak dapat diawasi dan diarahkan sesuai dengan tujuan
pendidikan. (Azra, 1999: 83)
Ibnu Sina membolehkan
pelaksanaan hukuman dengan cara yang ekstra hati-hati dan hal itu hanya boleh
dilakukan dalam keadaan terpaksa atau tidak normal, sedangkan dalam keadaan
normal, hukuman tidak boleh dilakukan. Sikap humanistik ini sangat sejalan
dengan alam demokrasi yang menuntut keadilan, kemanusiaan, kesederajatan, dan
sebagainya.[4]
C.
GAGASAN DAN KONSEP PEMIKIRAN IBNU SINA
Ibnu Sina sangat mementingkan “Self education” mendidik
diri sendiri sebelum mendidik orang lain. Prof. Ruben Levy yang menulis resensi
buku al-Siyasah Ibnu Sina mengulas tentang hal ini pada bagian terakhir dalam
sebagian karangannya. Ibnu Sina membicarakan tentang kontrol yang langsungd ari
manusia, bahwa sebelum manusia mendidik dan memerintah orang lain, sebaiknya ia
pandai mendidik dirinya. Ibnu Sina adalah salah satu contoh dari Autodidak
muslim yang sanggup meluaskan dan memperdalam pengetahuannya dengan kekuatan
hati dan otak.[5]
Ibnu Sina berpendapat bahwa ilmu pengetahuan
terdiri dari 2 jenis, yaitu:
a.
Ilmu Teoritis
Ilmu ini mencakup ilmu alam, matematika, ilmu
illahi atau ketuhanan (yaitu ilmu yang mengandung itibar tentang wujud kejadian
alam dan isinya dengan analisa yang jelas dan jujur sehingga dapat dikteahui
siapa penciptanya.[6]
b.
Ilmu Amali / Praktis
Adalah ilmu yang membahas tentang tingkah laku
manusia dilihat dari segi tingkah laki individualnya. Ilmu ini menyangkut ilmu
akhlak dan bila dilihat dari segi tingkah laku dalam hubungannya dengan orang
lain maka ilmu ini termasuk ilmu siasat (politik). Adapun filsafat mencakup
semua ilmu tersebut yang tujuannya adalah mengetahui hakikat segala sesuatu
menurut kemampuan manusia untuk mengetahuinya. Tujuan filsafat secara teoritis
adalah untuk menyempurnakan jiwa dengan ilmu, sedang tujuan praktisnya adalah
menyempurnakan jiwa dengan melalui amal perbuatan.[7]
Menurut Ibnu Sina yang harus diajarkan dan
dipelajari oleh manusia melalui proses kependidikan adalah ilmu-ilmu teoritis
yang jenisnya saat ini banyak sekali.[8]
Tujuan pendidikan menurut Ibnu Sina yaitu
pengembangan seluruh potensi yang dimiliki seseorang ke arah perkembangan yang
sempurna, meliputi fisik, intelektual dan budi pekerti, tampaknya Ibnu Sina
berdiri di antara faktor dasar (potensi yang dimiliki manusia sejal lahir,
fitrah), dan ajar (pembinaan yang dilakukan melalui pendidikan).
Selain itu Ibnu Sina berpendapat tujuan pendidikan
harus diarahkan pada upaya mempersiapkan seseorang agar dapat hidup di
masyarakat secara bersama-sama dengan mengerjakan yang dipilihnya sesuai dengan
bakat, kesiapan dan kecenderungannya dan potensi yang dimilikinya, juga
diberikan pendidikan keterampilan supaya tumbuh tenaga-tenaga profesional
pandangan ini tidak akan jelas tanpa mengaitkan dengan pandangannya mengenai
hakikat manusia (anak didik) dan materi kurikulum.
Kurikulum menurut Ibnu Sina lebih lanjut, harus
didasarkan pada tingkat perkembangan usia anak didik.
1)
Pada usia 3 – 5 tahun perlu diberikan pelajaran olahraga, budi pekerti,
seni suara dan kesenian.
2)
Anak usia 6 – 14 tahun mata pelajaran yang cocok diberikan adalah mencakup
pelajaran membaca dan menghafal Al-Qur’an, pendidikan agama, syair dan olahraga
3)
Untuk anak usia 14 tahun ke atas harus menerima mata pelajaran yang
jumlahnya, lebih banyak, tapi harus disesuaikan dengan minat dan bakat mereka
sehingga mereka akan belajar dengan suasana yang menyenangkan.
Tujuan utama pendidikan menurut Ibnu Sina pertama
adalah lahirnya insan kamil, yaitu manusia yang terbina seluruh potensi dirinya
secara seimbang dan menyeluruh. Kedua tersedianya kurikulum yang memungkinkan
berkembangnya seluruh potensi manusia meliputi dimensi fiksi, intelektual dan
jiwa.
Menyingkap metode belajar, Ibnu Sina berpendapat
bahwa suatu pelajaran tertentu tidak akan bisa dijelaskan kepada bermacam-macam
anak didik dengan satu siswa saja, melainkan harus dicapai dengan berbagai cara
sesuai dengan perkembangan psikologisnya. Penyampaian materi pelajaran pada
anak harus disesuaikan dengan sifat materi tersebut sehingga antara materi dan
metode akan terintegrasi. Adapun metode yang dikemukakan adalah metode talqin,
demonstrasi, pembiasaan, teladan, magang dan penugasan.[9]
Ibnu Sina dan Pendidikan Anak
Usaha sosialisasi anak ke tengah masyarakat luas
lewat pendidikan mendapat perhatia khusus dari Ibnu Sina. Prof. Dr. Syalibi
mengatakan bahwa menurut Ibnu Sina bila seorang anak telah berumur 6 tahun maka
wajiblah diserahkan kepada guru (pendidik). Pendapat Ibnu Sina didasarkan pada
alasan bahwa perasaan sosial anak dapat berkembang lagi setelah memasuki
sekolah. Oleh karena itu, tanggung jawab keluarga mempersiapkan perasaan
anal-anak sebelum memasuki sekolah kehidupan keluarga yang bahagia lahir batin
akan memberikan ciri-ciri hidup kejiwaan dan pribadi anak yang memudahkan
berkembangnya sikap penyesuaian sosial anak di sekolah dan di luar sekolah.[10]
D.
ANALISIS KONSEP PEMIKIRAN PENDIDIKAN MENURUT IBNU
SINA
Dalam konsep pemikiran Ibnu Sina, ia membagi ilmu
pengetahuan menjadi ilmu teoritis dan ilmu praktis. Pembagian kedua ilmu
tersebut berpengaruh dalam atau menjadi awal perkembangan ilmu. Dengan adanya
pembagian ilmu secara teoritis dan praktis akan menjadikan pengajian dan
pengembangan ilmu lebih spesifik.
Ibnu Sina juga telah mengenalkan mengenai
kurikulum pendidikan dan metode belajar, yang mana kurikulum pendidikan klasik
hanya berdasar pada perkembangan sosial kultural, isi kurikulum semakin meluas.
Hal ini menunjukkan bahwa Ibnu Sina juga merupakan salah satu pelopor kajian
kurikulum klasik.
Selain itu, Ibnu Sina memiliki konsep pendidikan
pada anak usia dini. Bagi Ibnu Sian, pendidikan bermula sebelum individu
dilahirkan pembentukan moralitas dan karakter mesti dilahirkan sejak awal. Pada
tingkat pertama proses sosialisasi anak ke sekolah, menurutnya perhatian jangan
hanya dipusatkan pada pemberian ilmu pengetahuan saja, tetapi daam waktu yang
sama hendaklah juga mementingkan pendidikan budi pekerti.
Dari konsep pemikiran tersebut, dapat dilihat
peranannya dalam pendidikan usia dini di era modern sekarang pada era modern
ini semain banyak lembaga pendidikan usia dini maupun lembaga-lembaga
pendidikan yang menetapkan dan mengembangkan pendidikan budi pekerti. Ibnu Sina
merupakan tokoh filosof yang lebih dikenal sebagai ahli kedokteran.
DAFTAR PUSTAKA
Azra, Azyumardi. 1998. Esai-esai Intelektual Muslim
dan Pendidikan Islam. Jakarta: Logos Wacna Ilmu.
Hamdi, Ahmad Zaenul. 2006. Tujuh
Filsuf Muslim. Yogyakarta: Pustaka Pesantren.
Kurniawan,
Syamsul & Erwin Mahrus. 2001. Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam.
Jogjakarta; Ar- Ruzz Media.
Ramayulis
dan Samsul Nizar. 2005. Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam. Ciputat :
Quantum Teaching.
Ramayulis. 2008. Ilmu
Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia.
[1] Ahmad Zaenul Hamdi, Tujuh Filsuf Muslim (Yogyakarta:
Pustaka Pesantren, 2006), hlm. 89-92
[2] http://sahalhumamy.wordpess.com/2011/03/07/filsafat-ibnu-sina/ diakses pada 20/02/2012/16.30 WIB
[3] Ramayulis dan Samsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh
Pendidikan Islam (Ciputat : Quantum Teaching, 2005), hlm. 31-35,.
[4] Syamsul Kurniawan & Erwin Mahrus, Jejak Pemikiran
Tokoh Pendidikan Islam (Jogjakarta; Ar- Ruzz Media, 2001), hlm. 84-86
[5] Azyumardi
Azra, Esai-esai Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos
Wacna Ilmu, 1998), h. 80
[6] Ismail Thoib, Wacana
Pendidikan Meretas Filsafat Pendidikan Islam, (Jogjakarta: Gema Press,
2008)
[7] Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta:
Kalam Mulia, 2008), h. 164
[8] Ismail Thoib, Op.cit.,
[9] Abu Dinata, Sejarah Pendidikan Islam pada
Periode Klasik dan Pertengahan, (Jakarta: Raja Grafindo, 2004), h. 239-240
[10] Ibid., h. 80-81