Sunday, November 11, 2012

Kesantunan Bahasa




Kesantunan Bahasa

A. Pengertian kesantunan bahasa
Sikap santun merupakan salah satu jenis kepribadian yang dituntut untuk dimiliki oleh setiap orang. Secara umum santun adalah suatu sikap yang dapat diterima oleh masyarakat yang berisi norma-norma kesantunan yang telah dibentuk sejak lama. Norma-norma dalam kesantunan bahasa sudah sejak lama dijunjung tinggi oleh para leluhur kita, seperti berbicara dengan membuka lebar-lebar mulut, dengan suara yang tinggi melengking tidak diperbolehkan oleh orang-orang tua di zaman dahulu. Selain itu memandang mata mitra tuturnya pada saat berbicara juga tidak diperbolehkan, wujud gerak tubuh dalam berbicara dan sebagainya.[1] Ini merupakan prinsip-prinsip kesantunan yang sudah lama dipegang oleh masyarakat kita. Dan jika seseorang tidak mematuhinya maka akan dianggap kurang santunlah bahasanya dan perilakunya.
Sikap santun ini mencakup segala perilaku yang dilakukan seseorang, sama halnya ketika manusia berkomunikasi melalui bahasa. Kesantunan dalam berbahasa harus diperhatikan oleh setiap orang ketika bertutur dengan orang lain. Hal ini karena akan memperlancarkan kegiatan komunikasi dan akan menciptakan interaksi yang baik terhadap sesamanya.

B. Prinsip-prinsip kesantunan bahasa
Adapun untuk kesantunan bahasa mempunyai batasan-batasan sendiri. Banyak para ahli lingustik menetapkan beberapa prinsip-prinsip dalam kesantunan bahasa.
Kesantunan sebuah bahasa menurut Leech dalam bukunya Kunjana yang berjudul pragmatik kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia seseorang dapat dikatakan sudah memiliki kesantunan bahasa jika sudah dapat memenuhi prinsip-prinsip sebagai berikut: maksim kebijaksanaan, maksim kedermawanan, maksim permufakatan, maksim kesederhanaan, maksim penghargaan, dan maksim simpati.[2] Lebih jelasnya adalah sebagai berikut:
Maksim kebijaksanaan dalam prinsip kesantunan bahasa adalah bahwa para peserta pertuturan hendaknya berpegang pada prinsip untuk selalu mengurangi keuntungan dirinya sendiri dan memaksimalkan keuntungan pihak lain dalam kegiatan bertutur. Seseorang yang sudah dapat melaksanakan maksim kebijaksanaan ini akan dapat dikatakan santun, karena dengan begitu orang tersebut dapat menghindarkan sikap dengki, iri hati dan sikap lain yang dilihat kurang santun terhadap mitra tutur.
Maksim kedermawanan dapat juga disebut maksim kemurahan hati, artinya seseorang dalam bertutur akan dikatakan santun bila dapat menghormati mitra tutur misalnya dengan memberi tawaran sebuah bantuan pada mitra tuturnya. Contoh lebih jelasnya adalah seorang mahasiswa yang memberikan tawaran sebuah bantuan kepada dosennya ketika dalam proses perkuliahan berlangsung.
Maksim permufakatan dalam hal ini menurut Leech adalah kecocokan, artinya seseorang dapat dikatakan santun dalam berbahasa bila orang tersebut dapat membina kecocokan dengan orang yang sedang diajak bicara/mitra tutur. Misalnya dalam masyarakat jawa ketika bertutur tidak diperbolehkan memenggal atau membantah secara langsung apa yang dituturkan oleh orang yang sedang diajak bicara (mitra tutur).
Maksim kesederhanaan berbeda dengan maksim kedermawanan, dalam maksim kedermawanan orang bersikap murah hati sedangkan dalam maksim kesederhanaan adalah bersikap rendah hati. Maksim kesederhanaan ini dapat diwujudkan dengan cara sering memberi pujian pada orang yang sedang diajak bicara. Dengan demikian orang yang sedang diajak bicara menjadi senang.
Maksim penghargaan bermakna orang akan dikatakan sudah berbahasa santun bila dalam bertutur selalu berusaha memberikan penghargaan kepada orang yang sedang diajak bicara (mitra tutur). Dengan maksim ini seorang penutur dan mitra tuturnya diharapkan dapat terhindar dari sikap saling mengejek, mencaci atau bahkan merendahkan salah satu mitra tutur. Apapun keadaan mitra tuturnya, seseorang harus selalu dapat menghargainya dengan memberi penghargaan atau penilaian yang lebih halus.
Maksim simpati, seseorang dikatakan sudah berbahsa santun bila dalam bertuturnya sudah dapat memaksimalkan sikap simpatinya kepada mitra tuturnya. Masyarakat indonesia sangat menjunjung tinggi sikap simpati dalam bertutur ini. Dan seseorang yang bersikap antipati dalam bertutur akan dikatakan orang yang tidak sopan. Sikap simpati dalam bertutur ini dapat berupa anggukan kepala sebagai tanda keseriusannya, gandengan tangan dengan sesama teman, senyuman dan sebagainya.
Selain harus memenuhi prinsip di atas ada pendapat lain yang menyatakan bahwa kesantunan bahasa juga dapat dilihat dari: Panjang pendek tuturan, urutan tutur, intonasi tuturan dan isyarat-isyarat kinestik, dan pemakaian ungkapan tanda kesantunan.
Dengan berbagai prinsip kesantunan bahasa diatas maka dengan denikian dapat dikatakan bahwa dalam setiap bahasa seseorang mengandung simbol kepribadian orang tersebut. Misalnya orang yang berbicara sudah sesuai dengan maksim penghargaan dan maksim kesimpatian maka orang tersebut dapat dikatakan memiliki kepribadian yang baik karena dapat menghargai orang yang sedang diajak bicara dan mampu mau memberikan respon kepada orang lain.
Selain itu juga Hymes menetapkan beberapa indikator dari kesantunan bahasa, komunikasi menurutnya dinilai santun jika memerhatikan faktor-faktor: 1) tempat dan waktu berlangsungnya, 2) peserta, 3) bentuk dan isi pesan, 4) cara penyampaian, 5) norma pelaku, 6) ragam bahasa.[3]

C. Faktor-Faktor Yang Mendorong Seseorang Berbahasa Santun
Segala sikap yang dilakukan oleh seseorang tentunya tidak terlepas dari sesuatu yang dapat mendorongnya untuk melakukan. Begitu pula dalam menggunakan bahasa ketika mereka bertutur. Ada beberapa faktor-faktor yang dapat mendorong seseorang berbahasa santun, antara lain:
  • Adanya kesadaran diri akan pentingnya berbahasa santun dalam bertutur dengan orang lain.
  • Nilai dan norma dalam berbahasa yang sudah menjadi keputusan masyarakat.
  • Berharap mendapatkan kedudukan dan nilai yang baik dihadapan orang lain sehingga lebih dihormati dan disanjung.
  • Keinginan untuk selalu dapat berkomunikasi dengan baik dengan orang lain.
Selain itu Galvin dan Mathiot dalam bukunya Rahardi mengemukakan bahwa terdapat 3 aspek kebahasaan dan nonkebahasaan yang berpengaruh terhadap sikap seseorang dalam berbahasa, serta yang mampu mendorong orang untuk selalu menggunakan bahasanya secara sungguh-sungguh baik dan berciri santun, antara lain sebagai berikut:
  1. Kesetiaan terhadap sosok bahasa (Languange Loyalty)
  2. Kebanggaan terhadap maujud bahasa (Languange Pride)
  3. Kesadaran dari para pemakai bahasa akan norma-norma sosiokultural yang berlaku (Sosiocultural Norm Awareness).


[1] Kunjana Rahardi, Op.Cit.hlm. 66
[2] Kunjana Rahardi, Pragmagtik :Kesantunan Bahasa Imperatif Bahasa Indonesia (Jakarta: Erlangga, tanpa tahun), hlm 59-65
[3] Abdul Majid, Wan Hasmah Wan Mamat dan Nur kholis. Loc. Cit.,hlm. 334