Kesantunan Bahasa
A. Pengertian
kesantunan bahasa
Sikap
santun merupakan salah satu jenis kepribadian yang dituntut untuk dimiliki oleh
setiap orang. Secara umum santun adalah suatu sikap yang dapat diterima oleh
masyarakat yang berisi norma-norma kesantunan yang telah dibentuk sejak lama.
Norma-norma dalam kesantunan bahasa sudah sejak lama dijunjung tinggi oleh para
leluhur kita, seperti berbicara dengan membuka lebar-lebar mulut, dengan suara
yang tinggi melengking tidak diperbolehkan oleh orang-orang tua di zaman
dahulu. Selain itu memandang mata mitra tuturnya pada saat berbicara juga tidak
diperbolehkan, wujud gerak tubuh dalam berbicara dan sebagainya.[1] Ini
merupakan prinsip-prinsip kesantunan yang sudah lama dipegang oleh masyarakat
kita. Dan jika seseorang tidak mematuhinya maka akan dianggap kurang santunlah
bahasanya dan perilakunya.
Sikap
santun ini mencakup segala perilaku yang dilakukan seseorang, sama halnya
ketika manusia berkomunikasi melalui bahasa. Kesantunan dalam berbahasa harus
diperhatikan oleh setiap orang ketika bertutur dengan orang lain. Hal ini
karena akan memperlancarkan kegiatan komunikasi dan akan menciptakan interaksi
yang baik terhadap sesamanya.
B. Prinsip-prinsip
kesantunan bahasa
Adapun
untuk kesantunan bahasa mempunyai batasan-batasan sendiri. Banyak para ahli
lingustik menetapkan beberapa prinsip-prinsip dalam kesantunan bahasa.
Kesantunan
sebuah bahasa menurut Leech dalam bukunya Kunjana yang berjudul pragmatik kesantunan Imperatif Bahasa
Indonesia seseorang dapat dikatakan sudah memiliki kesantunan bahasa jika
sudah dapat memenuhi prinsip-prinsip sebagai berikut: maksim kebijaksanaan,
maksim kedermawanan, maksim permufakatan, maksim kesederhanaan, maksim
penghargaan, dan maksim simpati.[2] Lebih
jelasnya adalah sebagai berikut:
Maksim
kebijaksanaan dalam prinsip kesantunan bahasa adalah bahwa para peserta
pertuturan hendaknya berpegang pada prinsip untuk selalu mengurangi keuntungan
dirinya sendiri dan memaksimalkan keuntungan pihak lain dalam kegiatan
bertutur. Seseorang yang sudah dapat melaksanakan maksim kebijaksanaan ini akan
dapat dikatakan santun, karena dengan begitu orang tersebut dapat menghindarkan
sikap dengki, iri hati dan sikap lain yang dilihat kurang santun terhadap mitra
tutur.
Maksim
kedermawanan dapat juga disebut maksim kemurahan hati, artinya seseorang dalam
bertutur akan dikatakan santun bila dapat menghormati mitra tutur misalnya
dengan memberi tawaran sebuah bantuan pada mitra tuturnya. Contoh lebih
jelasnya adalah seorang mahasiswa yang memberikan tawaran sebuah bantuan kepada
dosennya ketika dalam proses perkuliahan berlangsung.
Maksim
permufakatan dalam hal ini menurut Leech adalah kecocokan, artinya seseorang
dapat dikatakan santun dalam berbahasa bila orang tersebut dapat membina
kecocokan dengan orang yang sedang diajak bicara/mitra tutur. Misalnya dalam
masyarakat jawa ketika bertutur tidak diperbolehkan memenggal atau membantah
secara langsung apa yang dituturkan oleh orang yang sedang diajak bicara (mitra
tutur).
Maksim
kesederhanaan berbeda dengan maksim kedermawanan, dalam maksim kedermawanan
orang bersikap murah hati sedangkan dalam maksim kesederhanaan adalah bersikap
rendah hati. Maksim kesederhanaan ini dapat diwujudkan dengan cara sering
memberi pujian pada orang yang sedang diajak bicara. Dengan demikian orang yang
sedang diajak bicara menjadi senang.
Maksim
penghargaan bermakna orang akan dikatakan sudah berbahasa santun bila dalam
bertutur selalu berusaha memberikan penghargaan kepada orang yang sedang diajak
bicara (mitra tutur). Dengan maksim ini seorang penutur dan mitra tuturnya
diharapkan dapat terhindar dari sikap saling mengejek, mencaci atau bahkan
merendahkan salah satu mitra tutur. Apapun keadaan mitra tuturnya, seseorang
harus selalu dapat menghargainya dengan memberi penghargaan atau penilaian yang
lebih halus.
Maksim
simpati, seseorang dikatakan sudah berbahsa santun bila dalam bertuturnya sudah
dapat memaksimalkan sikap simpatinya kepada mitra tuturnya. Masyarakat
indonesia sangat menjunjung tinggi sikap simpati dalam bertutur ini. Dan
seseorang yang bersikap antipati dalam bertutur akan dikatakan orang yang tidak
sopan. Sikap simpati dalam bertutur ini dapat berupa anggukan kepala sebagai
tanda keseriusannya, gandengan tangan dengan sesama teman, senyuman dan
sebagainya.
Selain
harus memenuhi prinsip di atas ada pendapat lain yang menyatakan bahwa
kesantunan bahasa juga dapat dilihat dari: Panjang pendek tuturan, urutan
tutur, intonasi tuturan dan isyarat-isyarat kinestik, dan pemakaian ungkapan
tanda kesantunan.
Dengan
berbagai prinsip kesantunan bahasa diatas maka dengan denikian dapat dikatakan
bahwa dalam setiap bahasa seseorang mengandung simbol kepribadian orang
tersebut. Misalnya orang yang berbicara sudah sesuai dengan maksim penghargaan
dan maksim kesimpatian maka orang tersebut dapat dikatakan memiliki kepribadian
yang baik karena dapat menghargai orang yang sedang diajak bicara dan mampu mau
memberikan respon kepada orang lain.
Selain
itu juga Hymes menetapkan beberapa indikator dari kesantunan bahasa, komunikasi
menurutnya dinilai santun jika memerhatikan faktor-faktor: 1) tempat dan waktu
berlangsungnya, 2) peserta, 3) bentuk dan isi pesan, 4) cara penyampaian, 5)
norma pelaku, 6) ragam bahasa.[3]
C. Faktor-Faktor
Yang Mendorong Seseorang Berbahasa Santun
Segala
sikap yang dilakukan oleh seseorang tentunya tidak terlepas dari sesuatu yang
dapat mendorongnya untuk melakukan. Begitu pula dalam menggunakan bahasa ketika
mereka bertutur. Ada beberapa faktor-faktor yang dapat mendorong seseorang
berbahasa santun, antara lain:
- Adanya kesadaran diri akan pentingnya berbahasa santun dalam bertutur dengan orang lain.
- Nilai dan norma dalam berbahasa yang sudah menjadi keputusan masyarakat.
- Berharap mendapatkan kedudukan dan nilai yang baik dihadapan orang lain sehingga lebih dihormati dan disanjung.
- Keinginan untuk selalu dapat berkomunikasi dengan baik dengan orang lain.
Selain
itu Galvin dan Mathiot dalam bukunya Rahardi mengemukakan bahwa terdapat 3
aspek kebahasaan dan nonkebahasaan yang berpengaruh terhadap sikap seseorang
dalam berbahasa, serta yang mampu mendorong orang untuk selalu menggunakan
bahasanya secara sungguh-sungguh baik dan berciri santun, antara lain sebagai
berikut:
- Kesetiaan terhadap sosok bahasa (Languange Loyalty)
- Kebanggaan terhadap maujud bahasa (Languange Pride)
- Kesadaran dari para pemakai bahasa akan norma-norma sosiokultural yang berlaku (Sosiocultural Norm Awareness).