SESAJEN DALAM
SEDEKAH BUMI DAN LAUT
Memang demikian adanya, banyak sekali
adat istiadat yang kita temukan di tanah Jawa berakar kuat dan baku sebagai
asset budaya warisan nenek moyang kita dulu. Kita tidak bisa menghukumi mereka
dengan memukul rata bahwa adat yang menjadi budaya itu semuanya sesat dan harus
dihapus.Harus dilihat pesan dan esensi yang melatarbelakanginya, kenapa bisa
tumbuh subur di Jawa Dwipa ini? Kalau semuanya bisa dicermati dan dipahami bukan mustahil bila budaya yang
mengakar ini bisa dijadikan sebagai wahana dakwah Islamiyah yang efektif.
Rata – rata adat yang kita temukan erat
kaitannya dengan hal – hali mistik. Bisa saja terjadi, kalau tidak disadari
keteguhan iman, seseorang akan terjerembab dalam kemusyrikan – na’udzu billah min dzalik.Ambil contoh
budaya nyadran atau sesajen yang kita
kenal ini. Jika seseorang memahami bahwa pengusa laut adalah jin, genderuwo
atau apalah istilahnya, tanpa tahu Mahabesar Allah Swt, bukankah ini akan
menjadi keyakinan yang membahayakan? Dari itu, untuk membawa mereka – yang
terlanjur salah kaprah – bukan dengan melarang dan menghapus adat istiadat
mereka, tapi dengan mempelajari serta memahami apa yang sebenarnya mereka
yakini, baru kemudian mengarahkannya kepada pemahaman yang benar sesuai syariat
Islam.
Dalam masyarakat Jawa, istilah sesajen
bukanlah hal yang asing, karea sampai saat ini masih berlaku dan tetap
dilestarikan. Biasanya mereka berkeyakinan bahwa sesajen yang mereka buat
diperuntukkan bagi sing bahureksa
atau danyangdesa sebagai penguasa
wilayah tertentu berupa roh atau makhluk halus lainnya, baik di darat maupun di
lau, yang pada hakikatnya istilah tersebut hanyalah patut diperuntukkan bagi
Allah Swt. Karena sesungguhnya segala sesuatu yang ada di bumi dan di langit
adalah kekuasaan-Nya. Al – Quran menegaskan, Kepunyaan Allahlah segala apa yang
ada di bumi dan di langit.
Nah, kalau dilihat dari kacamata agama,
melakukan sesajen membuka kemungkinan
seseorang berbuat syirik.Makanya ulama memberikan hokum tegas dengan
mengharamkan ritual seperti ini, dengan dasar bahwa kegiatan tersebut dapat
merusak akidah atau keyakinan Islam. Jadi, apabila istilah : sedekah bumi atau
laut” disertai dengan keyakinan adanya makhluk lain yang menyamai Allah Swt
dalam menentukan nasib suatu kaum maka bisa berakibat kufur. Dalam Syiraj
ath-Thalibin, juz I, hlm. 110 dijelaskan:
“Termasuk bid’ah yang pertama adalah
tipuan setan terhadap orang awam, yaitu meminyaki pagar, tiang rumah dengan
wangi – wangian atau mengagungkan mata air, pohon atau batu dengan mengharap
kesembuhan dan terlaksananya hajat tertentu.Keburukan – keburukan tersebut
sangat jelas dan tidak perlu diperjelas lagi.”
Dulu, saat Islam memasuki tanah Jawa,
para Wali Sanga telah mengubah adat istiadat ini menjadi sesuatu yang
bermanfaat tanpa mengubah prosesi dan esensinya. Seandainya waktu itu secara
total adat mereka dihapus, maka masyarakat dengan spontan tidak akan menerima
ajaran Islam dengan baik. Tahlilan adalah salah satu contoh buah karya Wali
Sanga (Sunan Giri) membelokkan kebudayaan sesajen menjadi majelis zikir, berupa
acara slametan atau sedekah dengan diiringi bacaan – bacaan Al – Quran,
shalawat dan doa untuk arwah. Ada hikmah yang belum dipahami oleh sebagian
orang, bahwa nilai dari kebiasaan mereka membuat sesajen adalah semangat untuk
beribadah dan sedekah.Titik inilah yang diahlikan menjadi semangat bersedekah
secara nyata sebagai bentuk pengabdian kepada Allah Swt.
Kiranya dengan uraian tadi semuanya tidak lagi ragu, bahwa untuk menghukumi
ritual adat berupa sesajen atau nyadran, harus dilihat latar belakang dan niat
yang mendasarinya. Tidak
bisa kita menggeneralisir dengan satu hokum, yaitu syirik.Perlu kajian dan
petimbangan yang matang. Saya yakin, dengan cara demikian mereka akan lebih
mengenal Islam sebagai agama yang tolern. Semoga bermanfaat.Sekian.Wallahu
a’lam.