Monday, June 3, 2013

Sesajen dalam Sedekah Bumi dan Laut


SESAJEN DALAM SEDEKAH BUMI DAN LAUT

Memang demikian adanya, banyak sekali adat istiadat yang kita temukan di tanah Jawa berakar kuat dan baku sebagai asset budaya warisan nenek moyang kita dulu. Kita tidak bisa menghukumi mereka dengan memukul rata bahwa adat yang menjadi budaya itu semuanya sesat dan harus dihapus.Harus dilihat pesan dan esensi yang melatarbelakanginya, kenapa bisa tumbuh subur di Jawa Dwipa ini? Kalau semuanya bisa dicermati dan dipahami bukan mustahil bila budaya yang mengakar ini bisa dijadikan sebagai wahana dakwah Islamiyah yang efektif.
Rata – rata adat yang kita temukan erat kaitannya dengan hal – hali mistik. Bisa saja terjadi, kalau tidak disadari keteguhan iman, seseorang akan terjerembab dalam kemusyrikan – na’udzu billah min dzalik.Ambil contoh budaya nyadran atau sesajen yang kita kenal ini. Jika seseorang memahami bahwa pengusa laut adalah jin, genderuwo atau apalah istilahnya, tanpa tahu Mahabesar Allah Swt, bukankah ini akan menjadi keyakinan yang membahayakan? Dari itu, untuk membawa mereka – yang terlanjur salah kaprah – bukan dengan melarang dan menghapus adat istiadat mereka, tapi dengan mempelajari serta memahami apa yang sebenarnya mereka yakini, baru kemudian mengarahkannya kepada pemahaman yang benar sesuai syariat Islam.
Dalam masyarakat Jawa, istilah sesajen bukanlah hal yang asing, karea sampai saat ini masih berlaku dan tetap dilestarikan. Biasanya mereka berkeyakinan bahwa sesajen yang mereka buat diperuntukkan bagi sing bahureksa atau danyangdesa sebagai penguasa wilayah tertentu berupa roh atau makhluk halus lainnya, baik di darat maupun di lau, yang pada hakikatnya istilah tersebut hanyalah patut diperuntukkan bagi Allah Swt. Karena sesungguhnya segala sesuatu yang ada di bumi dan di langit adalah kekuasaan-Nya. Al – Quran menegaskan, Kepunyaan Allahlah segala apa yang ada di bumi dan di langit.
Nah, kalau dilihat dari kacamata agama, melakukan sesajen membuka kemungkinan seseorang berbuat syirik.Makanya ulama memberikan hokum tegas dengan mengharamkan ritual seperti ini, dengan dasar bahwa kegiatan tersebut dapat merusak akidah atau keyakinan Islam. Jadi, apabila istilah : sedekah bumi atau laut” disertai dengan keyakinan adanya makhluk lain yang menyamai Allah Swt dalam menentukan nasib suatu kaum maka bisa berakibat kufur. Dalam Syiraj ath-Thalibin, juz I, hlm. 110 dijelaskan:
Termasuk bid’ah yang pertama adalah tipuan setan terhadap orang awam, yaitu meminyaki pagar, tiang rumah dengan wangi – wangian atau mengagungkan mata air, pohon atau batu dengan mengharap kesembuhan dan terlaksananya hajat tertentu.Keburukan – keburukan tersebut sangat jelas dan tidak perlu diperjelas lagi.

Dulu, saat Islam memasuki tanah Jawa, para Wali Sanga telah mengubah adat istiadat ini menjadi sesuatu yang bermanfaat tanpa mengubah prosesi dan esensinya. Seandainya waktu itu secara total adat mereka dihapus, maka masyarakat dengan spontan tidak akan menerima ajaran Islam dengan baik. Tahlilan adalah salah satu contoh buah karya Wali Sanga (Sunan Giri) membelokkan kebudayaan sesajen menjadi majelis zikir, berupa acara slametan atau sedekah dengan diiringi bacaan – bacaan Al – Quran, shalawat dan doa untuk arwah. Ada hikmah yang belum dipahami oleh sebagian orang, bahwa nilai dari kebiasaan mereka membuat sesajen adalah semangat untuk beribadah dan sedekah.Titik inilah yang diahlikan menjadi semangat bersedekah secara nyata sebagai bentuk pengabdian kepada Allah Swt.
Kiranya dengan uraian tadi semuanya tidak lagi ragu, bahwa untuk menghukumi ritual adat berupa sesajen atau nyadran, harus dilihat latar belakang dan niat yang mendasarinya. Tidak bisa kita menggeneralisir dengan satu hokum, yaitu syirik.Perlu kajian dan petimbangan yang matang. Saya yakin, dengan cara demikian mereka akan lebih mengenal Islam sebagai agama yang tolern. Semoga bermanfaat.Sekian.Wallahu a’lam.